Sabtu, 10 Maret 2012

Budidaya Tanaman dalam Rumah Kaca Bertingkat


Untuk mememecahan masalah pangan tanpa merusak lingkungan, sejumlah ilmuwan menawarkan visinya: membangun ladang dalam ruangan bertingkat dengan dukungan teknologi.

Gambaran pertanian dalam ruangan di masa depan, sepintas kelihatan seperti fiksi ilmiah yang biasanya ditampilkan dalam komik dari seabad lalu. Pakar mikrobiologi dari Universitas Columbia di New York, Dickson Despommier membuat gambaran kolase foto dari kota megapolitan di tahun 70-an, yang tercekik oleh populasi penduduknya yang melewati kapasitas. Terlihat kawasan pemukiman kumuh berupa gedung-gedung pencakar langit, di bawahnya jalanan kelihatan seperti ngarai sempit yang gelap. Diantara gedung-gedung pencakar langit, Despommier menambahkan sejumlah bangunan bertingkat tinggi berwana hijau.

Inilah yang ia maksudkan sebagai ladang pertanian di dalam ruangan berupa rumah kaca bertingkat banyak. “Saya yakin, gagasan membudidayakan tanaman di gedung bertingkat, bagi para penulis fiksi ilmiah tidaklah baru. Akan tetapi ini hal baru bagi usaha pertanian komersial. Saat ini di seluruh dunia belum ada rumah kaca bertingkat. Penyebabnya semua rumah kaca yang horizontal dibangun di atas lahan yang harganya murah. Di Amerika Serikat bahkan ada yang luasnya 128 hektar di tengah gurun,” ungkap Dickson Dispommier.

Bercocoktanam Tanpa Merusak Lingkungan

Untuk membuka lahan pertanian atau perkebunan baru, dalam beberapa dekade terakhir ini setiap harinya lahan hutan dijarah dan dibabat habis. Agar dapat menanam padi, jagung, gandum, tomat atau kelapa sawit negara-negara berkembang dan ambang industri seperti Brazil, Indonesia, atau negara-negara di Afrika justru memusnahkan lapisan tanah yang subur.

Despommier meyodorkan gagasannya, dengan rumah kaca bertingkat dalam ukuran raksasa atau yang disebutnya pertanian vertikal, aksi membabat hutan itu tidak diperlukan lagi. Tanaman tidak lagi dibudiyakan dengan medium tanah, melainkan dengan cara hydrokultur. Sumber cahayanya adalah lampu-lampu LED yang hemat energi. Sejauh ini memang telah dilakukan pertanian dengan metode hydrokultur secara besar-besaran, akan tetapi masih terbatas pada rumah kaca satu tingkat atau disebut pertanian horizontal.

Akan tetapi, membangun rumah kaca raksasa bertingkat tiga misalnya, memicu munculnya masalah baru yang harus dihadapi. Pakar mikrobilogi Despommier menjelaskan, “Pemasokan air dan energi harus dibangun. Bibit tanaman dari satu tingkat tidak boleh tercampur dengan bibit dari tingkat lainnya. Dengan itu jangan sampai tumbuh jagung di tempat yang seharusnya tumbuh gandum.

Pekerjanya harus menjaga kebersihan, agar jangan sampai membawa penyakit tanaman. Juga harus dijamin bahwa bangunannya kedap udara, dan di dalam gedung tekanan udaranya lebih tinggi ketimbang di luar. Tapi semuanya secara teknis dapat dibangun di sebuah rumah kaca semacam itu.“
Pertanian vertikal dalam rumah kaca juga memiliki keunggulan tersendiri, dan mampu memecahkan masalah yang biasa muncul dalam pertanian konvensional. Pertanian terbuka, selalu menghadapi masalah sinar matahari, angin, hama, banjir atau serangan udara dingin yang datang tiba-tiba. Despommier menonjolkan keuntungan pertanian vertikal dalam ruangan, “Di luar, petani tidak bisa menentukan, namun di dalam ruangan ia dapat menentukan sendiri semua prosedurnya. Misalnya jika ada pekerja yang membuat kesalahan membawa penyakit tanaman dan panen akan rusak, di ladang para petani harus menunggu penanaman hingga tahun depan. Di dalam sebuah rumah kaca, pada keesokan harinya ia sudah dapat menanam sesuatu.“

Pertanian Metropolitan Skala Kecil

Memang dalam skala industri besar-besaran, gagasan rumah kaca raksasa bertingkat banyak masih berupa impian bagi masa depan. Namun dalam skala kecil-kecilan, apa yang disebut pertanian vertikal itu sudah dapat diwujudkan. Misalnya saja programer komputer Michael Doherty, sudah mempraktekannya dalam apa yang disebut windowfarm, atau pertanian di depan kaca jendela. “Ini sebuah sistem modular dari hydrokultur,. Kita dapat membudidayakan tanaman di depan jendela. Yang dipikirkan adalah orang-orang yang hidup di kota dan tidak memiliki kebun. Dengan windowfarm mereka dapat menanam tanaman bahan pangan di apartemen perkotaan, dan itu tidak memerlukan banyak tempat maupun energi,“ dijelaskan Michael Doherty.

Michael Doherty hendak terus memacu proyek windowfarm ini. Programer komputer yang kini tertarik pada bidang pertanian, memiliki sasaran untuk melakukan budidaya tanaman pangan dari lahan produktif yang selama ini diabaikan, yakni jendela-jendela kaca di kota metropolitan. Luas areal penanamannya juga disebutkan terus bertambang setiap tahun, seiring tumbuhnya gedung-gedung baru berteknologi modern yang memanfaatkan kaca sebagai dindingnya. Dengan materi sederhana atau daur ulang sampah botol plastik, Doherty membuat konstruksi semacam tirai bagi jendela di apartemen atau perumahan di perkotaan.

“Windowfarm terdiri dari rangkaian botol air mineral berukuran satu setengah liter, yang dicat putih. Kita buat lubang pada botolnya dan memasukan tanamannya. Botol-botolnya kemudian dihubungkan, dan sebuah pompa memasok air dari sebuah wadah lewat jaringan selang bagi tanaman di jendela.”

Gagasan programer komputer itu terbukti mendapat sambutan cukup baik. Hingga kini tercatat 14.000 orang yang mengikuti proyek windowfarm ini. Kebanyakan diantaranya adalah penghuni perkotaan, yang membudidayakan tanaman sayuran kecil-kecilan di depan jendelanya. Mereka juga terus memperbaiki teknik penananam dan budidaya, dan lewat jalur internet saling mempertukarkan pengalamannnya. Tanaman buah-buahan apa yang tumbuh paling cepat? Bagaimana pemupukan yang optimal? Sejumlah warga, kini juga membudidayakan ikan dalam tangki kecil yang diatur sirkulasi airnya.

Dari proyek itu, para pakar pertanian mengharapkan, suatu hari nanti dari pertanian vertikal, dapat memasok bahan pangan bagi jutaan orang. Lahan pertanian dapat digunakan untuk tujuan lain, dan hutan tidak perlu lagi dijarah serta dibabat habis. Dengan gagasan pertanian vertikal, kelestarian alam dapat terjaga dan manusia juga memperoleh cukup bahan pangan.

Phillip Artelt/Agus Setiawan
Editor: Yuniman Farid




Tidak ada komentar:

Posting Komentar