Kisah Perbuatan Lampau Sang Buddha
Suatu ketika, musibah kelaparan melanda kota Vesali, diawali dengan
musim kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir semua
panen gagal dan banyak orang meninggal dunia karena kelaparan. Hal ini
diikuti oleh penyebaran wabah penyakit. Karena masyarakat tidak lagi
mampu menangani pembuangan mayat-mayat, maka bau busuk di udara menarik
perhatian para raksasa. Penduduk Vesali menghadapi musibah kehancuran
yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit, dan juga kehadiran para
raksasa. Dalam kesedihan dan penderitaannya, mereka mencoba mencari
perlindungan. Mereka berpikir untuk mencari bantuan dari berbagai
sumber, namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.
Serombongan utusan dipimpin oleh Mahali, seorang pangeran suku
Licchavi, dan putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara untuk
memohon Sang Buddha berkenan melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong
mereka yang sedang dalam musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa
kunjungan ini akan membawa manfaat bagi banyak orang, maka Beliau
menyetujui untuk pergi ke Vesali.
Mendengar Sang Buddha bersama para bhikkhu akan mengadakan muhibah ke
negara tetangga, Raja Bimbisara memperbaiki jalan dari Rajagaha sampai
ke tepi sungai Gangga. Ia juga membuat persiapan-persiapan lain dan
mendirikan tempat-tempat beristirahat khusus pada jarak-jarak tertentu
dalam setiap yojana.
Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha berangkat menuju ke
Vesali bersama lima ratus bikkhu. Raja Bimbisara juga menyertai Sang
Buddha. Pada hari ke lima mereka sampai di tepi sungai Gangga dan Raja
Bimbisara mengirim kabar pada pangeran-pangeran Licchavi.
Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi telah memperbaiki
jalan dari tepi sungai itu menuju ke kota Vesali dan telah membangun
tempat-tempat beristirahat seperti yang dilakukan oleh Raja Bimbisara di
sisi sungai wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan diiringi
pangeran-pangeran Licchavi namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi
sungai wilayahnya.
Segera setelah Sang Buddha mencapai tepi seberang sungai, hujan lebat
turun dengan deras, sehingga membersihkan kota Vesali. Sang Buddha
dipersilahkan beristirahat dalam rumah peristirahatan yang khusus
dipersiapkan khusus untuk Beliau di pusat kota.
Sakka, Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang menghormat
kepada Sang Buddha. Melihat kedatangan para dewa, para raksasa melarikan
diri.
Pada sore hari yang sama, Sang Buddha membabarkan Khotbah Permata
(Ratana Sutta) dan meminta Y.A. Ananda untuk berjalan mengelilingi
dinding kota yang berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi sambil
mengulang sutta tersebut.
Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika syair-syair
perlindungan (Paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit menjadi
sembuh dan mengikuti Y.A. Ananda berjalan menuju tempat Sang Buddha
berada.
Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan mengulanginya selama
tujuh hari. Pada akhir hari ketujuh segala sesuatunya di kota Vesali
menjadi normal kembali. Para Pangeran Licchavi dan penduduk Vesali
merasa terbebas dari musibah dan sangat bersukacita. Mereka juga sangat
berterimakasih kepada Sang Buddha dan melakukan persembahan kepada-Nya
dalam jumlah yang besar dan mewah. Mereka juga mengiringi Sang Buddha
dalam perjalanan pulang sampai di tepi sungai Gangga di akhir hari
ketiga.
Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara menunggu Sang Buddha,
demikian pula para dewa, brahma, dan raja para naga bersama rombongannya
masing – masing. Mereka semua menghormat dan melakukan persembahan
kepada Sang Buddha. Para dewa dan brahma datang menghormat dengan
payung, bunga, dll. dan melagukan syair pujian kepada Sang Buddha. Para
naga datang dengan perahu yang terbuat dari emas, perak, dan rubi
mengundang Sang Buddha ke tempat kediaman para naga. Mereka juga
menaburi permukaan air dengan lima ratus jenis teratai. Inilah satu
diantara tiga kesempatan dalam hidup Sang Buddha, ketika para manusia,
dewa, dan brahma datang bersama-sama untuk melakukan penghormatan kepada
Beliau.
Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan kekuatan dan
keagungan Beliau dengan keajaiban ganda; memancarkan cahaya api dan
mengeluarkan air dari tubuh Beliau.
Kedua, ketika Sang Buddha kembali dari alam dewa Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Abidhamma di sana.
Sang Buddha ingin menghargai para naga, kemudian Beliau melakukan
kunjungan ke tempat kediaman para naga diiringi oleh para bhikkhu. Sang
Buddha dan rombongan pergi dengan lima ratus perahu yang dibawa para
naga. Setelah berkunjung ke tempat kediaman para naga, Sang Buddha
kembali ke Rajagaha diiringi raja Bimbisara. Mereka tiba di Rajagaha
pada hari ke lima.
Dua hari setelah kedatangan mereka di Rajagaha, ketika para bhikkhu
sedang membicarakan tentang kehebatan dan keagungan yang mengagumkan
selamai perjalanan dari dan ke Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.
Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang Buddha berkata,
“Para bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati sedemikian tinggi oleh brahma,
dewa, dan manusia dan bahwa mereka melakukan persembahan kepada-Ku
dengan jumlah yang sedemikian besar dan mewah pada kesempatan ini
bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki. Itu
hanyalah karena Saya telah melakukan beberapa perbuatan baik yang kecil
dalam salah satu kehidupan yang lampau, sehingga Saya sekarang menikmati
manfaat sedemikian besarnya.” Kemudian Sang Buddha menjelaskan kisah
salah satu dari kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau menjadi seorang
brahmana bernama Sankha.
Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang hidup di kota
Taxila. Ia mempunyai seorang putra bernama Susima. Ketika Susima berumur
enam belas tahun, ia dikirim oleh ayahnya pada brahmana lain untuk
belajar ilmu perbintangan. Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya
dipelajari, tetapi Susima tidak sepenuhnya puas. Karena itu, gurunya
memerintahkan agar ia mendekati para Paccekabuddha yang sedang berdiam
di Isipatana. Susima pergi ke Isipatana, tetapi para Paccekabuddha
mengatakan kepadanya bahwa ia harus menjadi seorang bhikkhu, dan diberi
pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang bhikkhu. Susima
berlatih meditasi dengan rajin, ia segera memahami ‘Empat kesunyataan
Mulia’, mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang Paccekabuddha. Tetapi
sebagai akibat perbuatan lampaunya, Susima tidak berumur panjang, ia
meninggal, mencapai parinibbana segera setelah itu.
Sankha, ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya, tetapi ia
hanya menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan. Brahmana
itu menjadi sangat terpukul karena kehilangan anak laki-lakinya. Ia
menghampiri stupa itu, membersihkan halaman, membersihkan rumput liar,
kemudian ia menutup tanah tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan
air. Kemudian, ia pergi ke dalam hutan dekat daerah itu untuk mencari
bunga-bunga liar dan menancapkannya di tanah basah tersebut. Dengan cara
tersebut, ia mempersembahkan pelayanannya dan memberi penghormatan
kepada Paccekabuddha yang dulu adalah putranya. Karena perbuatan baik
yang dilakukan pada kehidupan lampaunya itu, maka Sang Buddha mendapat
manfaat, bahwa ia dilimpahi dengan persembahan mewah, ia dihormati
demikian tinggi, dan ia memperoleh bakti demikian besar pada kesempatan
khusus itu.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 290 berikut :
Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil
orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar,
maka hendaknya orang bijaksana
melepaskan kebahagiaan yang kecil itu,
guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.
orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar,
maka hendaknya orang bijaksana
melepaskan kebahagiaan yang kecil itu,
guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.
Sumber : https://indonesianbuddhistsociety.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar