Tampilkan postingan dengan label Agama Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama Islam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Agustus 2012

Masjid berumur 1300 tahun di China

Guangzhou - Masjid Huaisheng adalah masjid tertua yang berumur 1.300 tahun dan bersejarah di Guangzhou, China. Meski berumur ribuan tahun, masjid ini sangatlah indah. Saat traveling ke Negeri Bambu tersebut, jangan lupa berkunjung ke sana.

China punya banyak tempat wisata yang menarik dan bersejarah. Selain Great Wall, ada Masjid Huaiseng yang bersejarah dengan bangunannya yang
sangat unik dan menarik. terletak di Jalan Guang Ta Lu, Kota Guangzhou, Provinsi Guangdong, ini merupakan masjid bersejarah untuk umat muslim.

Dari bentuk bangunannya, masjid tersebut tidak seperti tempat ibadah. Ia dikelilingi tembok berwarna merah dengan gapura bertuliskan berhuruf China. Tidak ada kubah sebagai penanda adanya masjid.

Satu-satunya yang bisa menunjukkan bahwa tempat itu benar-benar masjid adalah menara atau dalam bahasa China disebut 'Minaret'. Dan itulah benda yang tersisa dari masjid yang dibangun pada abad ke-7 M ini.

Tinggi menara sekitar 36 meter dan diameternya 8,7 meter. Di beberapa bagian, temboknya mengelupas. Beberapa bagian lainnya ditumbuhi perdu.

Selain menara, di kompleks seluas 3.800 meter persegi tersebut berdiri gapura peninggalan para dinasti yang di atap bagian dalam terdapat tulisan dalam bahasa Arab, toko alat ibadah, pusat kegiatan, dan dokumentasi sejarah masjid tersebut.

Aula tempat ibadah utama berada di bagian belakang. Sementara menara yang tersisa itu berada di bagian depan samping kanan pintu masuk. Di bagian belakang aula terdapat ruangan khusus untuk memajang souvernir dari berbagai negara, ada Al Quran, prasasti, atau barang lainnya.

Seluruh bangunan berunsur China, seperti lekukan atap atau ornamen di kayu dan dinding. Tapi di beberapa bagian terdapat tulisan dalam bahasa Arab. Menarik bukan?

Sekitar masjid merupakan kawasan padat, ada banyak minimarket dan toko kebutuhan sehari-hari. Tak banyak kaum Muslim yang lagi tinggal di kawasan tersebut karena bermigrasi dengan alasan pekerjaan.

"Jumlahnya (jamaah) hanya 100-an orang. Itu pun sebagian besar bukan orang asli China tapi warga negara lain," kata pengelola Masjid Guangta, Nurdin, yang memandu detikTravel dan perwakilan kantor berita Xinhua, Senin (20/8/2012) kemarin.

Guangzhou merupakan Ibukota Provinsi Guangdong. Posisinya di selatan China, lebih dekat ke Hongkong daripada Beijing, Ibukota China. Meski jauh dari pusat pemerintahan, Guangzhou berkembang pesat. Bangunan menjulang, apartemen, dan pusat perbelanjaan tumbuh subur.

Di kota yang kini jumlah penduduknya mencapai 11 juta ini, Islam pertama kali ditancapkan di China oleh Saad bin Abi Waqash. Saad datang pada awal masa pemerintahan Dinasti Tang 627-649 M. Kemudian ia membangun masjid dan keberlangsungannya dilanjutkan kaum Muslim dan beberapa dinasti.

Masjid ini menjadi tempat beribadah untuk setiap orang, baik itu dari China, Afrika, Timu Tengah, dan orang-orang lainnya yang berdatangan. Saat berkunjung ke masjid ini, tidak hanya bangunan bersejarah yang akan Anda rasakan tapi juga keramahan masyarakat setempat yang menghangatkan jiwa.

Menara yang bersejarah (Triono/detikTravel)

Bagian dalam masjid (chinese-architecture.info)

Inilah Masjid Berumur 1.300 Tahun di China


Menara Masjid Huaisheng (Triono/detikTravel)



Masjid yang berusia 1.300 tahun (chinese-architecture.info)



Sumber : http://travel.detik.com/

Sabtu, 18 Agustus 2012

AWAL RAMADHAN: Mengapa MUHAMMADIYAH [Konsisten] Menggunakan Metode Hisab?

Compact_muhammadiyah1
JAKARTA: Pemerintah Kamis (20/7) malam baru menggelar sidang isbat untuk menentukan awal masuknya bulan suci Ramadhan. Muhammadiyah, salah satu organisasi besar Islam di Tanah Air sudah menetapkan awal puasa atau 1 Ramadhan dimulai pada 20 Juli dan sholat tarawih pada malam ini.

Tibanya Ramadhan dan Idul Fitri, dua momen yang menempatkan Muhammadiyah menjadi sorotan media massa. Apa pasalnya? Muhammadiyah yang memakaimetode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang menggunakan metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah.

Perbedaan metode itulah yang menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Akibatnya seringkali Muhammadiyah menjadi sasaran kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah hingga tidak mengikuti Rasulullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab.

Menurut publikasi Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam situswww.muhammadiyah.or.id mengatakan umumnya mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut dan juga contoh Rasulullah Saw, sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw.

Lalu mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof.Dr.Syamsul Anwar,MA dalam tulisannya yang dipublikasikan olehwww.muhammadiyah.or.id memaparkan beberapa alasannya sbb:

Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al-hilal, yakni metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.

Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisabbukan rukyat, ini dia alasannya:

Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab.

Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.

Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi.

Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak meng-cover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.

Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.

Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah.

Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia.

"Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat," ujarnya.

Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”. (yus)


Sumber : http://www.bisnis.com/

Kontroversi Metodologi Rukyat dan Hisab


Fenomena menarik di Indonesia, menjelang bulan puasa maupun lebaran, yang hampir terjadi setiap tahunnya adalah kontroversi penentuan awal bulan Ramdlan dan Syawal. Kontroversi ini terjadi di beberapa organisasi keagamaan dan lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia. Untuk mengetahui masuknya awal bulan, ada beberapa organisasi di antara sekian banyak organisasi keagamaan bersikeras mengaplikasikan secara independen metodologi hisab maupun rukyat. Namun ada juga yang lebih memilih untuk melakukan kalaborasi antara keduanya.

Ternyata, dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan. Apalagi masing-masing dari mereka sama-sama merasa telah mengantongi legalitas agama dan merasa sebagai kelompok yang mampu mengimplementasikan firman Allah dan sabda rasul-Nya. Sebuah realita yang patut disayangkan; bagaimana mungkin dalam sebuah negara mempunyai begitu banyak otoritas dalam memberikan rekomendasi masuknya awal bulan Ramadlan maupun Syawal, sebagai tanda umat Islam mempunyai kewajiban berpuasa dan berhari raya.
Memang, sejauh ini, realita sosial masing-masing organisasi keagamaan masih mampu menunjukkan sikap toleransi, meskipun dalam tataran praktis di kalangan tertentu masih tetap terkontaminasi, sehingga perbedaan itu berpotensi menciptakan terjadinya sentimen keagamaan di luar paham kelompoknya. Inilah sebuah problem yang tentunya membutuhkan gagasan solutif agar semua pihak tidak terjebak pada pola berfikir particular dan parsial sehingga mampu menciptakan pola berfikir multidimensional dan komprehensif.

II. Legalisasi Metodologi Rukyah dan Hisab

Membicarakan metodologi rukyah --dalam konteks Indonesia-- tentunya tidak lepas dari organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU). Setiap menjelang bulan puasa dan hari raya, organisasi ini secara konsisten menggunakan metode rukyah sebagai skala prioritasnya, daripada metode hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan bertendensi adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadits yang secara eksplisit menggunakan redaksi “rukyah” dalam menentukan awal bulan awal puasa dan hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu pada pendapat mayoritas ulama—hadits mengenai rukyah tersebut mempunyai kapasitas sebagai interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di atas. Jika bentuk perintah pada redaksi Hadits sekaligus praktek yang dilakukan pada pereode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan metode hisab?

Pada kesempatan lain, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini. Argumen ini mengemuka salahsatunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya. Menurut mereka, polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal bulan.

Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat informative, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.

Mengenai redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan).

Memang, banyak hadits secara eksplisit memerintahkan untuk melakukan rukyah, ketika hendak memasuki bulan Ramadlan maupun Syawal. Namun redaksi itu muncul disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi pereode nabi berbeda dengan pereode sekarang, dimana kajian astronomi sekarang jauh lebih sistematis sekaligus akurasinya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Nabi sendiri dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa: ”innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya: “Kita adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya)”. Jadi, mempriotiaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada pereode nabi.

III. Analisa, Solusi dan Penutup

Menurut hemat Penulis, metodologi hisab dan rukyah merupakan dua komponen yang mempunyai korelasi sangat erat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Rasanya tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya murni menggunakan metode rukyah. Sebab, meskipun telah dilengkapi dengan teknologi teleskop, ada banyak problematika yang harus dihadapi, semisal adanya polusi, pemanasan global dan kemampuan mata yang terbatas, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Begitu juga sebaliknya, tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya menggunakan metode hisab. Alasan paling mendasar adalah fakta empiris metodologi ini bermula dari sebuah riset para astronom, sedangkan obyeknya adalah "melihat" peredaran matahari dan bulan. Memang, dipandang dari akurasi metodologisnya, hisab lebih unggul dibanding rukyah. Tingkat kesalahan metodologi hisab jauh lebih kecil dibanding metodologi rukyah. Namun, bagaimanapun juga hasil ilmiah apapun tidak akan pernah dapat dipertanggungjawabkan jika pada akhirnya tidak sesuai dengan fakta.

Telah jelas kontroversi metodologi hisab maupun rukyah --secara aplikatif-- merupakan persoalanfuru’iyyat (hukum cabang). Tentunya perbedaan-perbedaan yang ada tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, fenomena kontroversial itu tidak dapat dibiarkan bagitu saja, mengingat dampak arus bawah yang timbul begitu signifikan. Pada dasarnya itsbat (keputusan) penetapan bulan Ramadlan maupun Syawal adalah hak preogratif pemerintah (Departemen Agama) secara otoritatif. Apalagi telah jelas, pemerintah selama ini mampu mengakomodir semua aspirasi organisasi keagamaan di Indonesia, dengan mengundang masing-masing delegasi untuk melakukan rukyat sekaligus hisab. Jadi, sama sekali tidak salah, jika mulai dari sekarang masing-masing organisasi mencoba untuk menghormati otoritas pemerintahan ini. Wallahu a’lam.


Sumber : http://www.pesantrenvirtual.com/

Metode Hisab Muhamadiyah di Dunia Astronomi Tak Dipakai

(bosccha.itb.ac.id)JAKARTA - Pengamat astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Indonesia (Lapan), Thomas Jamaludin menyatakan, metode yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk menetukan tanggal 1 ramadan, memang agak berbeda dengan organisasi Islam di Indonesia yang lain. Hal tersebut lantaran Muhammadiyah menggunakan metode wujudulhilal.

"Metode wujudulhilal itu yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam dunia astronomi sudah tidak dipakai lagi. Kalau tetap dipakai, akan terjadi perbedaan dengan saudara-saudara kita yang menggunakan pendekatan rukyat," kata Thomas di ruang Sidang Isbat Kementrian Agama, Thamrin, Jakarta, Kamis (19/7/2012).

Sehingga, metode tersebut perlu dirubah dengan ciri-ciri astronomis berdasarkan kriteria Visibilitas Hilal atau Infanu Rukyat. "Supaya itu bisa satukan antara hisab dan rukyat," singkatnya.

Direktur Sains Lapan ini juga menerangkan sebenarnya Muhammadiyah menggunakan hisab modern, melakukan perhitungan dan menggunakan alat komputerisasi sehingga hasilnya akurat, tapi kriterianya itulah yang berbeda dengan yang dirumuskan ormas islam lainnya.

"Itu yang selalu buat perbedaan. Sekarang sedang diupayakan dalam seminar Juni lalu, Ketua PP Muhammadiyah sudah buka diri untuk mengajak dialog dengan kriteria yang mereka punya dan dengan kritera saat ini tepat, sehingga ini jadi moment terbaik untuk sama-sama merumuskan kriteria baru yang bisa diterima semua pihak baik kalangan rukyat maupun hisab. Sebab secara astronomi hal tersebut bisa dilakukan," simpulnya.

Lapan, lanjut Thomas akan memberikan tawaran berdasarkan data-data astronomi internasional dan menghitung kemungkinan penerapannya di Indonesia sesuai dengan kemampuan hisab Indonesia. "Maka, Lapan menawarkan Rukyat Indonesia dengan pendekatan beda tinggi itu empat derajat dan jarak antara bulan dan matahari 6,4 derajat," terangnya.

Namun Muhammadiyah, diakuinya belum menyepakati hal tersebut, dan baru menerima tawaran untuk berdiskusi. "Muhammadiyah baru menyatakan terbuka untuk bicarakan hal itu, tapi belum. Makanya tadi saya usulkan supaya ada kesepakatan supaya pendekatan itu bisa segera didiskusikan," tutupnya.

(ydh)



Sumber : http://news.okezone.com/

Malaysia Juga Rayakan Idul Fitri 1433 H Besok



Jakarta - Hari perayaan Idul Fitri di Malaysia juga tidak berbeda dengan Indonesia. Idul Fitri di negara jiran itu akan digelar pada Minggu 19 Agustus 2012.

Sebagaimana dilansir Kantor Berita Bernama, Sabtu (19/8/2012), Penjaga Segel Raja-raja Malaysia, Datuk Syed Danial Syed Ahmad, mengumumkan melalui Radio Televisi Malaysia (RTM) jika umat muslim di Malaysia akan merayakan hari raya Idul Fitri di 1 Syawal 1433 H pada esok hari.

"Sebagai kepatuhan terhadap perintah dari Yang di-Pertuan Agong dan persetujuan dari para Raja, saya dengan ini menyatakan bahwa tanggal untuk Hari Raya Idul Fitri telah ditetapkan untuk Minggu, 19 Agustus 2012," ujar Datuk Syed Danial

Sementara pemerintah Indonesia juga menetapkan 1 Syawal 1433 H jatuh pada Minggu 19 Agustus 2012. Keputusan itu diambil setelah Kementerian Agama menggelar sidang isbat bersama perwakilan sejumlah ormas Islam.

( rmd / rmd ) 


Sumber : http://ramadan.detik.com/

Pemerintah Tetapkan Idul Fitri 1433 H Jatuh Pada Minggu 19 Agustus


Jakarta Sidang isbat Kementerian Agama telah usai. Pemerintah melalui Kemenag menetapkan 1 Syawal 1433 H jatuh pada Minggu 19 Agustus 2012.

Keputusan diambil setelah Menteri Agama Suryadharma Ali yang memimpin sidang setelah mendengarkan pandangan ormas Islam yang hadir dalam sidang yang digelar di Kementerian Agama, Jalan MH Thamrin, Sabtu (18/8/2012)

"Sidang isbat memutuskan dan menetapkan 1 Syawal 1433 H bertepatan dengan hari Ahad tanggal 19 Agustus 2012," ujar Suryadharma.

Sebelumnya, Suryadharma mengatakan secara astronomi sudah dijelaskan dan tidak ada keraguan sedikitpun jika hilal dapat dilihat. Begitupun dengan laporan dari ormas-ormas Islam bahwa hilal di atas batas imkanurrukyah. Oleh karenananya, lanjut dia, 1 Syawal 1433 H bertepatan dengan hari Ahad 19 Agustus 2012.

"Karena keterangan-keterangan yang disampaikan berdasarkan hisab maupun rukyah tidak ada perbedaan, satu sama lain saling menguatkan, maka izinkan saya bisa diberikan keleluasaan dalam bentuk adanya keterangan tambahan berkaitan penetapan 1 Syawal 1433 H," tuturnya.

Sidang Isbat tersebut dimulai pukul 17.00 WIB. Wakil Menag Nasaruddin Umar tampak menghadiri sidang tersebut. Sejumlah ormas juga hadir diantaranya MUI, Al Wasliyah, Persis, ICMI, Al Ijtihadiyah, LDII, dan Hidayatullah. Perwakilan dubes negara Islam juga hadir seperti dari Kedubes Brunei Darussalam, Palestina, dan Iran.


(rmd/ndr) 



Sumber : http://news.detik.com/

Jumat, 17 Agustus 2012

Kampanye Stop Sunat Perempuan Makin Digencarkan

(Foto: thinkstock)

Jakarta, Sunat perempuan atau female genital cutting (FGC) atau female genital mutilation (FGM) masih dipraktikkan secara luas di benua Afrika. Namun kini makin banyak yang menyuarakan sunat perempuan dihentikan.

Praktik ini dianggap ilegal karena sering dilakukan pada gadis berusia 4-8 tahun, usia sebelum mendapatkan siklus menstruasi pertamanya.

Sunat perempuan terdiri atas 4 tipe namun yang paling utama ada 3 yaitu:
1. Clitoridectomy atau penghilangan tudung klitoris (Tipe I)
2. Penghilangan klitoris dan labia minora (Tipe II)
3. Infibulasi atau penghilangan seluruh bagian kelamin, termasuk klitoris, labia minora dan labia majora (Tipe III) hingga hanya tertinggal lubang sebesar pensil di bagian inferior vulva sebagai jalan keluar urin dan darah menstruasi.

Meski tujuan dari prosedur ini adalah mengurangi libido wanita. Pada akhirnya, ketika si wanita yang menjalani infibulasi (penghilangan ekstrem) itu dewasa, ada yang harus melakukan reinfibulasi (RI) atau menjalani pemulihan infibulasi untuk bisa melancarkan persalinan.

Ini karena lubang vagina pasien infibulasi terlalu kecil untuk menjalani proses persalinan lewat vagina sehingga harus dilakukan reinfibulasi untuk memperbesar lubang vaginanya.

Setelah itu, para ibu akan bersikeras untuk menutup vulvanya kembali agar suaminya bersedia berhubungan seksual dengannya.

Seperti dilansir dari healthcanal, Jumat (17/8/2012), salah satu motif yang mendasari dilakukannya sunat perempuan adalah penurunan risiko penyakit akibat berhubungan seksual secara sembarangan karena praktik ini bisa menurunkan dan menghilangkan kepuasan seksual pada wanita.

Meski ada studi yang mengemukakan bahwa sejumlah wanita yang menjalani infibulasi masih bisa menikmati orgasme, nyatanya praktik ini cenderung memberikan dampak negatif terhadap kehidupan seksual wanita.

Peneliti menduga infibulasi mampu memberikan bukti keperawanan agar si wanita dapat menikah. Kondisi semacam ini banyak ditemukan pada komunitas yang memberlakukan praktik sunat perempuan

Dalam komunitas yang sama, sunat perempuan juga menciptakan keuntungan ekonomi karena orangtua diperbolehkan untuk meminta mahar tinggi jika anaknya masih perawan. Pada beberapa masyarakat tertentu, para pria dilarang untuk menikahi wanita yang tidak disunat.

Alasan lain yang mendasari praktik sunat perempuan adalah penghapusan bagian sekresi pada alat kelamin terbukti mampu menjaga kebersihan kelamin itu sendiri. Padahal sunat perempuan jelas-jelas tak mungkin dapat mencegah keluarnya urin, darah menstruasi atau cairan vagina akibat munculnya gairah seksual.

Sunat perempuan juga seringkali diklaim mampu mengobati depresi, histeria dan kegilaan padahal hal ini hanyalah mitos belaka. Anehnya lagi, masyarakat yang mempraktikkannya juga percaya bahwa sunat perempuan meningkatkan kecantikan seorang wanita dan memperpanjang kepuasan seksual pria.

Sunat perempuan diperkirakan telah dilakukan terhadap sekitar 2 juta gadis per tahunnya, yang sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang tak pernah mendapatkan pelatihan medis dan melakukan prosedur sunat perempuan seperti tidak menggunakan anestesi, sterilisasi atau perangkat medis yang benar.

Sebagian besar pasien memang bisa bertahan hidup tapi prosedur itu sendiri dapat menyebabkan kematian akibat syok karena rasa sakit luar biasa yang dialami pasien, pendarahan secara berlebihan hingga infeksi.

Pasien juga seringkali mengalami gangguan sekresi urin atau darah menstruasi sehingga mengakibatkan infeksi kandung kemih atau infeksi saluran reproduksi serta kemandulan.

Badan kesehatan dunia (WHO) menambahkan bahwa segala jenis sunat perempuan meningkatkan risiko kematian bayi (15 persen untuk Tipe I, 32 persen untuk Tipe II dan 55 persen untuk Tipe III).

Wanita yang menjalani infibulasi juga berisiko melahirkan secara caesar sebesar 30 persen serta mengalami pendarahan pasca melahirkan hingga 70 persen, lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak menjalani sunat perempuan.

Sebanyak 10-20 per ribuan bayi yang lahir di Afrika pun meninggal dunia selama proses persalinan karena ibunya menjalani prosedur pemotongan kelamin.

Selain itu, nota kesepakatan antara WHO-Unicef-UNFPA pada tahun 1997 menyatakan, "mutilasi kelamin wanita merupakan pelanggaran integritas fisik dan psikoseksual para wanita dan gadis sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita sehingga tak bisa diterima secara universal."

Sunat perempuan biasanya dilakukan sebagai bentuk cerminan nilai-nilai yang dipegang teguh orangtuanya dalam komunitasnya agar putrinya bisa diterima secara sosial.

WHO beranggapan agar praktik ini bisa ditabukan secara luas, upaya penyadaran dan kampanye tentang dampak negatif sunat perempuan harus dimulai dari komunitas yang melegalkannya.

Sunat perempuan menurut para penggiat feminis harus diperkenalkan sebagai praktik yang merugikan kesehatan bahkan menimbulkan cedera berkepanjangan pada wanita.

Sementara di Indonesia, sunat perempuan diatur dalam Permenkes No 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan yang intinya mengatur prosedur dan teknik penyayatan dan hanya bagian mana yang boleh disayat.

Beberapa poin yang diatur dalam Permenkes No 1636/2010 tentang Sunat Perempuan antara lain sebagai berikut:

1. Sunat perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan baik dokter, bidan atau perawat yang memiliki izin kerja. Sebisa mungkin, tenaga kesehatan yang dimaksud berjenis kelamin perempuan.

2. Bagian yang dipotong tidak boleh sembarangan, bahkan sebenarnya tidak ada bagian dari alat kelamin perempuan yang boleh dipotong. Sunat yang diizinkan hanya berupa goresan kecil pada kulit bagian depan yang menutupi klitoris (frenulum klitoris).

3. Sunat perempuan tidak boleh dilakukan dengan cara mengkaterisasi atau membakar klitoris (bagian mirip kacang yang paling sensitif terhadap rangsang seksual, dalam Bahasa Indonesia disebut juga klentit). Goresan juga tidak boleh melukai atau merusak klitoris, apalagi memotong seluruhnya.

4. Bagian lain yang tidak boleh dirusak atau dilukai dalam sunat perempuan adalah bibir dalam (labia minora) maupun bibir luar (labia mayora) pada alat kelamin perempuan. Hymen atau selaput dara juga termasuk bagian yang tidak boleh dirusak dalam prosedur sunat perempuan.

5. Sunat perempuan hanya boleh dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang bersangkutan dengan izin dari orangtua atau walinya. Petugas yang menyunat juga wajib menginformasikan kemungkinan terjadinya perdarahan, infeksi dan rasa nyeri.



Sumber : http://health.detik.com/

Kamis, 09 Agustus 2012

Ini Dia 7 Makanan yang Bisa Hilangkan Bau Mulut Pada Saat Puasa

img
Saat berpuasa, masalah bau mulut sering terjadi dan terkadang membuat seseorang menjadi tidak percaya diri ketika berbicara. Namun ada beberapa makanan yang bisa mengatasinya. Berikut tujuh makanan yang sebaiknya dikonsumsi saat buka puasa atau sahur agar dapat menghilangkan aroma mulut yang tak sedap.

img

1. Plain Yogurt
Peneliti Jepang pernah mengatakan bahwa yogurt bisa menghilangkan bau mulut asalkan dari jenis plain yogurt. Gula alami yang terbentuk pada pada yogurt jenis tersebut bisa menghilangkan komponen sulfur pemicu bau mulut.

img

2. Seafood
Rahasia penghilang bau mulut bukan terletak pada seafood-nya, tapi pada kandungan omega 3 dalam seafood. Jadi konsumsi apapun yang mengandung omega 3 pun sebenarnya bisa menghilangkan bau mulut.

img

3. Permen Karet
Menurut Pamela L. Quinones, RDH, presiden American Dental Hygienists Association, "Permen karet bisa merangsang air liur yang mempertahankan mekanisme dalam mulut agar tidak merusak gigi serta tidak berbau."

img

4. Lemon
Irisan lemon yang disisipikan saat kita makan di restauran bukan tanpa sebab. Karena potongan lemon itu bisa menetralkan bau mulut atau aroma makanan yang cukup kuat. Seperti aroma kambing, ataupun aroma bawang.

img

5. Wortel
Pada saat mengunyah makanan yang mengandung serat, mulut akan memproduksi air liur yang menciptakan pembersih mulut alami. Banyak dokter gigi menganjurkan untuk mengunyah wortel ataupun apel, untuk mengurangi bau mulut.

img

6. Teh Hijau
Dalam teh hijau mengandung zat aktif bernama catechins yang dapat membunuh bakteri di mulut sekaligus menghilangkan gula dari plak. Bakteri penyebab bau mulut pun bisa hilang. Meminum teh hijau setiap hari sangat dianjurkan untuk menghilangkan bau tak sedap dari tubuh.

img

7. Daun Mint
Daun mint bisa membantu menghilangkan bau tak sedap akibat mengkonsumsi bawang Bombay ataupun bawang putih. Daun mint biasanya ditaruh dalam makanan atau minuman sehingga memberikan efek yang segar di mulut dan aroma yang enak.






Sumber : http://wolipop.detik.com/

Senin, 30 Juli 2012

Sehatkah Sahur Dengan Makanan Kalengan?

Sehatkah Sahur Dengan Makanan Kalengan?
Foto: Thinkstock
Jakarta - Saat berpuasa metabolisme tubuh akan menurun. Makanan bernutrisi wajib dikonsumsi setiap hari terutama saat sahur. Meskipun begitu, makanan yang mudah dimasak sering kali jadi pilihan menu saat sahur. Selain praktis bisa juga menghemat waktu.

Produk makanan siap saji dikemas dalam berbagai bentuk seperti kaleng dan plastik. Selain mudah dibawa mudah juga disimpan. Makanan yang lezat dan enak ini juga perlu dibatasi konsumsinya. Jika terlalu sering sangat tidak baik untuk kesehatan, apalagi jika dikonsumsi saat berpuasa.

Karbohidrat, protein, lemak, serat dan vitamin adalah nutrisi komplit yang harus ada dalam satu menu makanan. Nutrisi yang tepat dan baik ini sangat dibutuhkan tubuh selama berpuasa, karena dapat mengembalikan metabolisme tubuh yang menurun.

“Makanan kemasan diketahui banyak mengandung garam dan zat pengawet, yang sudah pasti tidak baik untuk pencernaan. Jika dikonsumsi terlalu sering saat sahur bisa menganggu kesehatan usus.” Ujar Geovani Maharasitha Syafitri, S.Gz, seorang Ahli Gizi RS. Siloam Hospital Lippo Karawaci, dalam wawancara dengan Detikfood.

Selain tidak baik dikonsumsi saat sahur, makanan kemasan juga perlu dihindari saat berbuka puasa. Memilih hidangan bernutrisi alami, penting dilakukan jika tidak perut bisa mengalami gangguan seperti, begah hingga menyebabkan mual.

“Saat berbuka puasa sebaiknya jangan banyak makanan yang mengandung berlemak tinggi dan karbohidrat tinggi. Karena keduanya dapat melepas banyak insulin di tubuh yang mengakibatkan berat badan meningkat dan gula darah tidak terkontrol. Makanan kemasan adalah salah satu yang jenis makanan tinggi karbohidrat dan lemak.” tambahnya.

Jika Anda penyuka makanan kemasan bukan berarti tidak boleh menikmatinya. Baiknya batasi konsumsi sekitar dua kali dalam seminggu. Selain itu juga perlu dikombinasikan bersama sayuran dan buah, agar nutrisi terpenuhi.



Sumber : http://food.detik.com/

5 Mitos Ini Membuat Orang Takut Makan Daging Sapi

Daging sapi tak baik dikonsumsi jika sedang diet. Jika ingin yang halal, daging sapi harus dimasak hingga matang benar. Mitos-mitos yang salah kaprah sering membuat orang ragu makan daging sapi. Padahal bahan makanan ini penting sebagai sumber nutrisi.

Banyaknya mitos yang simpang siur tentang konsumsi dan pengolahan daging sapi, sebagain besar tidak benar. Cermati fakta terhadap mitos daging sapi berikut ini agar bisa menikmati daging sapi dengan tepat.


img
1. Cairan merah dari daging adalah darah
Mitos: Kita sering melihat cairan berwarna merah yang keluar dari daging sapi, dan banyak orang yang menyebut cairan itu adalah darah.

Fakta: Cairan yang keluar dari daging sapi bukanlah darah tapi juice atau sari daging Inilah yang membuat daging sapi gurih enak.



img
2. Kalau tidak dimasak well done, daging tidak halal
Mitos: Daging yang tidak dimasak well done, atau dalam hal ini medium atau medium rare, tidak patut dikonsumsi karena tidak halal.

Fakta: Halal atau tidaknya konsumsi daging sapi, terletak pada proses pemotongan sapi hidup, bukan pada tingkat kematangan daging sapi.



img
3. Daging yang belum matang banyak bakteri
Mitos: Daging yang masih berwarna merah dalamnya dan tidak matang sempurna, masih menyimpan banyak bakteri.

Fakta: Bakteri yang ada pada daging sapi hanya terdapat di permukaan daging sapi saja, bakteri tidak bisa berkembang di dalam lapisan dalam daging sapi karena di dalam daging tidak mengandung oksigen.


img
4. Jangan konsumsi daging jika sedang diet
Mitos: salah satu pantangan dari orang yang sedang diet adalah tidak boleh mengonsumsi daging sapi sama sekali, karena konon akan membuat berat badan kembali naik.

Fakta: Ternyata daging sapi perlu disertakan ke dalam menu sehari-hari karena mengandung protein tinggi dan dapat memberi rasa kenyang lebih lama.



img
5. Lama waktu mencerna daging sapi
Mitos: Tubuh memerlukan waktu yang sangat lama untuk menguraikan daging sapi yang kita konsumsi.

Fakta: 

daging sapi dapat dicerna dalam waktu empat sampai enam jam. Sistem pencernaan manusia didesain secara sempurna untuk mengurai bermacam jenis pangan.




Sumber : http://food.detik.com/

Rabu, 25 Juli 2012

Rabi’ah Al Adawiyah : Sang Pencinta Tuhan



1334916301255362156 Bagi kaum sufi, mensucikan hati dan pikiran adalah sebuah jalan yang tak boleh dilanggar agar mata bathinnya senantiasa ada dalam pencerahan. Setiap saat ada dalam keadaan Tuhan mencintainya dan ia pun mencintai Tuhan dengan sepenuh jiwanya, sepenuh hatinya. Tak ada yang lebih dicintai kecuali Tuhan itu sendiri. Tuhan sebagai tujuan dan Tuhan adalah sesuatu yang final dalam kehidupannya. Cinta dan kasih sayang Illahi itu kemudian ia refleksikan dalam mencintai dan mengasihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya, berdzikir dan beribadat siang dan malam.

Warna aliran sufi cinta Illahi ini dibawa oleh Rabi’ah al Adawiyah. Ia dianggap sebagai pendiri sufi yang mengembangkan totalitas kecintaan pada Allah. Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki komunikasi transendental yang sangat halus dan peka. Bahasa cintanya bukan hanya menghujam dan menggetarkan siapa pun yang membacanya, namun juga membawa pada pengembaraan spriritual yang jauh melebihi batas langit.

Rabi’ah al Adawiyah lahir di Basrah pada tahun 95 H (714 M) dan meninggal di Jerussalem pada tahun 185 H (796 M). Ia terlahir dari keluarga yang saleh dan zuhud. Kematian ayahnya dan bencana kemarau panjang membuatnya hidup terlunta-lunta dan terpisah dari saudara-saudaranya. Inilah yang menyebabkan Rabi’ah kemudian Rabi’ah dijual oleh perampok dan dijadikan budak.
Kesengsaraan, kepedihan dan buruknya kehidupan yang dialaminya tidak membuat ia menjadi kufur. Ia menjadikan semuanya sebagai jalan mendekatkan diri kepada Yang Maha Suci. Ia membersihkan seluruh jiwanya dan ridha terhadap apa yang ia alami dengan segala suka dukanya akhirnya membuat antara kepedihan dan kebahagiaan dimata Rabi’ah tak ada beda. Yang terpenting baginya adalah cinta dan ridha dari Tuhan itu sendiri.
Yaa.. Tuhan, lenganku telah patah
Aku merasa penderitaan yang hebat atas segala yang menimpaku
Aku akan menghadapi segala penderitaan itu dengan sabar
Namun aku masih bertanya-tanya
Dan mencari-cari jawabannya
Apakah Engkau ridha akan aku
Ya Allah….Ya Allah…
O’ Tuhan..inilah yang selalu mengganggu langit pikiranku.
Rabi’ah al Adawiyah senantiasa menetralisir seluruh luka-luka dunia dan kepedihan dirinya dengan berdzikir. Dengan lembut ia berkata pada Tuhannya :
Tuhanku,
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukanku
Selain berdzikir kepada-Mu
Di malam hari, ketika hampir semua manusia terlelap tidur, maka Rabi’ah al Adawiyah terjaga. Bagi Rabi’ah inilah saat-saat yang terindah berasyik masyuk dengan sang Maha Raya.
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun telah berlalu
Dan siang datang menjelang
Aku menjadi resah dan gelisah
Apakah persembahan malamku Engkau terima ?
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu kau tolak, hingga aku dihimpit duka
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu
Inilah yang selalu kulakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi Kemanusiaan-Mu
Andai Kau usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
Sesungguhnya, banyak sekali lantunan-lantunan syahdu dari Rabi’ah Al Adawiyah kepada Tuhannya yang mungkin melampaui batas perasaan, sensitivitas ruhani kebanyakan orang yang hatinya terikat pada gravitasi bumi, sangat duniawi. Sedangkan bagi Rabi’ah, lapar dan dahaga itu adalah kepada Tuhan itu sendiri. Jalaluddin Rumi berkata, “..sungguh sangat kasihan seseorang yang ingin mencapai laut hanya terpuaskan oleh secangkir air..” Bagi Rabi’ah maupun Rumi, cinta hakiki adalah Allah itu sendiri. Sedangkan cinta sesama, diantara manusia dianggap sebagai sesuatu yang dipinjamkan Tuhan itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Rumi, “Seseorang harus mencari kepuasan Tuhan, bukan kepuasan manusia. Karena kepuasan, cinta, simpati, dipinjamkan kepada manusia dan ditempatkan disana oleh Tuhan.”
Mungkin inilah syair yang paling popular dan syair puncak perasaan Rabi’ah al Adawiyah yang sangat menghujam kerasnya seluruh dinding-dinding hati dan mengguncangkan seluruh perasaan :
Yaa..Allah..
Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka,
bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu karena berharap surga,
campakkan aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata
Janganlah Engkau tutup keindahan wajah-Mu
yang abadi untukku
Entahlah, setiap membaca syair-syair Rabi’ah al Adawiyah maupun Jalaluddin Rumi, jiwa saya seakan menjadi kerdil. Saya selalu merasa terlempar kesebuah lembah yang asing, dimana saya tak pernah mengerti lagi tentang peta diri ada dimana. Begitu jauh untuk berjalan berpeluk dan bergandeng dengan mereka. Antara saya dan Rabi’ah serta Rumi, seperti dalam posisi : Saya ada di dasar jurang yang maha dalam dan mereka ada di atas langit tak berbatas. Alangkah bedanya. Alangkah jauhnya. Tetapi saya melihat seberkas cahaya dari keduanya.


Sumber : http://filsafat.kompasiana.com/

DOA Rabiah Al-Adawiyah



wahai Tuhanku, sesudah daku mati
masukkanlah daku keneraka
dan jadikan jasmaniku memenuhi seluruh ruang neraka
sehingga tak ada orang lain dapat dimasukkan kesana.

http://chenius.files.wordpress.com/2007/05/perfectservant1a.jpg
wahai Tuhanku, bilamana daku menyembah_MU

karena takut neraka, jadikan neraka kediamanku
dan bilamana daku menyembah_MU
karena gairah nikmat surga
maka tutupkan pintu surga selamanya bagiku


tetapi bilamana daku menyembah_MU
demi dikau semata, maka jangan larang daku
menatap KEINDAHAN_MU YANG ABADI


Sumber : http://chenius.wordpress.com/

Kisah Hidup RABI'AH AL-ADAWIYAH (SUFI WANITA)


 RABI'AH AL-ADAWIYAH (SUFI WANITA)


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1YftPk8_Jwo4ARPF0wiy7Qb658rdKnzJ_U89j24ZVVnR8Ge-Vwuc-KMa_IzVGo3dUNFClwlhdqolYeouHGwAmWwuT7dP-Q1V8V7xXfUMSFWdfMvOkxEICd0Y6k8cC_BOxiBv0lRwo5JLG/s1600/muslimah-759468.jpg
A.     Riwayat Hidup Rabi’ah al-Adawiyah
  1. Masa Kelahiran Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Isma’il al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah Iraq diperkirakan pada tahun 95 H. Rabi’ah termasuk dalam suku Atiq yang silsilahnya kembali pada nabi Nuh. Ia diberi nama Rabi’ah yang berarti putri keempat karena orang tuanya telah memiliki tiga orang putri sebelumnya.
Pada malam kelahirannya, sang ayah merasa sangat sedih karena tidak mempunyai suatu apapun untuk menghormati kehadiran putrinya yang baru itu. Bahkan minyak untuk menyalakan lampu pun tidak ada. Malam itu sang ayah bermimpi kedatangan Nabi Muhammad SAW dan mengatakan kepadanya agar jangan bersedih karena putrinya kelak akan menjadi seorang yang agung dan mulia.


Masa Kecil Rabi’ah al-Adawiyah

Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar. Yang menonjol darinya ialah ia kelihatan cerdik dan lincah daripada kawan-kawannya. Tampak juga dalam dirinya pancaraan sinar ketakwaan dan ketaatan yang tiada dimiliki oleh teman-temannya. Ia juga juga memiliki keistimewaan lain yaitu kekuatan daya ingatnya yang telah dibuktikan dengan kemampuannyamenghafal al-Quran saat usianya 10 tahun.
Pendidikan yang didapatkan Rabi’ah adalah pendidikan informal yang diberikan oleh ayahnya secara langsung. Biasanya ia dibawa ke sebuah mushalla yang jauh dari hiruk pikuk keramaian di pinggiran kotaBasrah. Di sinilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan Sang Khalik. Di tempat yang tenang dan tenteram tersebut akan mudah mencapai kekhusyukan dalam beribadah dan bisa mengkonsentrasikan pemikiran pada keagungan dan kekuasaan Allah. Kondisi kehidupan keluarga Rabi’ah yang saleh dan zuhud besar pengaruhnya bagi pendidikan putri kecil tersebut.


Masa Remaja Rabi’ah al-Adawiyah

Masa remaja Rabi’ah dilalui tanpa kedua orang tuanya, karena mereka telah meninggal dunia pada saat ia beranjak dewasa. Hal itu menyebabkan kehidupan Rabi’ah dan kakak-kakaknya semakin parah kondisinya sehingga memaksa mereka untuk meninggalkan gubuknya. Rabi’ah dan semua saudaranya terpencar satu sama lain. Mereka berkelana ke berbagai daerah untuk mencari penghidupan. Dalam pengembaraan ini, Rabi’ah jatuh ke tangan perampok dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang murah, yaitu sebesar 6 dirham.
Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah. Tuannya memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa perikemanusiaan. Tetapi Rabi’ah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
Dan pada suatu malam, tuannya mendengar rintihannya dan doanya. Hal ini sangat menyentuh hatinya hingga akhirnya ia pun memerdekakannya. Setelah merdeka, kehidupan Rabi’ah tetap lurus dalam jalan dan petunjuk AllahSWT. Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani kehidupan sufi dengan beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada sesuatupun yang memalingkan hidupnya dari mengingat Allah.


Masa Dewasa Rabi’ah al-Adawiyah

Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufi telah menjadi pilihannya. Rabi’ah menepati janjinya pada Allah untuk selalu beribadah kepadaNya sampai menemui ajalnya. Ia selalu malakukan shalat tahajjud sepanjang malam hingga fajar tiba. Rabi’ah tidak tergoda kehidupan duniawi, hatinya hanya tertuju pada Allah, ia tenggelam dalam kecintannya pada Allah SWT dan beramal demi keridlaanNya.
Rabi’ah telah menempuh jalan kehidupannya sendiri dengan memilih hidup zuhud dan hanya beribadah kepada Allah. Selama hidupnya ia tidak pernah menikah, walaupun ia seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran lelaki yang meminangnya. Pangkat, derajat, dan kekayaan tidak mampu memalingkan cinta pada kekasihnya Allah SWT.


Akhir Hayat Rabi’ah al-Adawiyah

Rabi’ah mencapai usia kurang lebih 90 tahun, bukan semata-mata usia yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar di sekelilingnya, suatu kehidupan yang menyebarkan bau wangi yang semerbak ke daerah sekitarnya, bahkan sampai sekarang hikmah dari ajaran-ajarannya masih dapat dirasakan.
Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah tentang wafatnya Rabi’ah, baik mengenai tahun maupun tempat penguburannya. Mayoritas ahli sejarahnya meyakini tahun 185 H sebagai tahun wafatnya, sedangkan tempat penguburannya, mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa kotakelahirannya sebagai tempat menguburkannya.
  1. B.     Pemahaman Tasawuf yang Digunakan Rabi’ah al-Adawiyah
Pada masa itu, yang berkuasa di Basrah adalah Bani Umayyah. Hidup mewah mulai meracuni masyarakat terutama di kalangan istana. Melihat kondisi demikian, kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban untuk menyerukan pada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam kemewahan. Sejak saat itu, kehidupan zuhud mulai menyebar luas di kalangan masyarakat.
Menurut at-Taftazani, karakteristik asketisme (zuhud) islam pada abad pertama dan kedua hijriah adalah sebagai berikut:
  1. Asketisisme ini didasarkan ide menjauhi hal-hal dunia demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab neraka.
  2. Asketisisme ini bercorak praktis dan para pendirinya tidak menaruh pendirian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas asketisismenya itu.
  3. Motivasi asketisisme ini adalah rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan yang sungguh-sungguh.
Demikianlah perkembangan tasawuf pada masa Rabi’ah al-Adawiyah yang sedikit banyak mempengaruhi kehidupan sufi Rabi’ah al-Adawiyah.
Rabi’ah al-Adawiyah semula adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan oleh tuannya. Dalam kehidupan selanjutnya ia bisa memusatkan perhatiannya dalam beribadah, bertaubat, dan menjauhi kehidupan duniawi. Dia menyenangi hidup dalam kemiskinan, dan menolak bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya, dia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi kepada Tuhan. Rabi’ah al-Adawiyah betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan mendambakan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Rabi’ah dikenal sebagai sufi yang mengembangkan paham tentang mahabbah (cinta). Baginya Tuhan adalah zat yang dicintai dan rasa cintanya yang mendalam hanya kepada Tuhan. Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi karena cintanya pada Allah. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah dan cinta itu pulalah yang membuat dia bersedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan zat yang sangat dicintainya, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Menurut beberapa orientalis yang mengkaji tasawuf, misalnya R.A. Nicholson bahwa pentingnya kedudukan Rabi’ah al-Adawiyah di dalam konsep tasawuf adalah dikarenakan dia menandai konsep zuhud dengan corak lain dari konsep zuhud Hasan al-Basri yang ditandai dengan corak rasa takut dan harapan. Rabi’ah al-Adawiyah melengkapinya dengan corak baru, yaitu cinta yang menjadi sarana manusia dalam merenungkan keindahan Allah yang abadi. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan. Cinta yang suci murni, tidaklah mengharapkan apa-apa dan cinta murni kepada Tuhan itulah puncak Tasawuf Rabi’ah. Di antara ucapan-ucapannya yang melukiskan tentang konsep zuhud yang dimotivasi cinta adalah:

“Wahai Tuhan! Apapun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku. Berikanlah semuanya kepada musuh-musuhMu. Dan apapun yang Engkau akan berikan kepadaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”

Tampak jelas bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir bersama Allah, seperti terungkap dalam lirik syairnya:

“Kujadikan Engkau teman dalam berbincang dalam kalbu.
Tubuhkupun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku.”

Cinta dibaginya atas dua tingkat. Pertama cinta karena kerinduan. Dirindui sebab Dia memang puncak segala keindahan, sehingga tidak ada lagi yang lain yang jadi buah kenangannya dan buah tuturnya, melainkan Tuhan, Allah, Rabbi!. Yang kedua yaitu keinginan dibukakan baginya hijab, selubung, yang membatas di antara dirinya dengan Dia. Itulah tujuannya, yaitu melihat Dia (musyahadah). Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci orang lain.
Sebuah contoh menceritakan tentang cahaya dengan kerinduan hati yang terbakar semata-mata ditempati oleh ketakutan kehilangan Allah, tampak dalam dialog sebagai berikut. Ia ditanya:
“Apakah Anda cinta setan, wahai Rabi’ah, ataukah membencinya?”
Dijawab Rabi’ah, “Cintaku yang begitu besar kepada Allah, sepenuhnya melarangku untuk membenci setan”
Parapenanya masih memaksanya, dan terus mengajukan pertanyaan:
“Apakah Anda cinta Nabi dan kedamaian atas beliau?”
Dan Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, aku sangat mencintainya. Tetapi cintaku kepada Sang Pencipta telah terisi penuh dan mencegahku dari cinta terhadap makhluk.”
Kata-kata ini tidak pernah dimaksudkan sebagai ketidakimanan terhadap Nabi. Jawaban itu dimaksudkan bahwa tidak ada ruang yang tersisa dalam hatinya untuk mencintai sesuatu dengan tulus kecuali Allah. Dalam bukunya The Rainks Of The Saints, al-Manawi berkata:
“Dalam doa-doanya, Rabi’ah menyerahkan dirinya seribu kali siang dan malam dan ketika ditanya, “Apakah yang Anda cari dengan semua ini?” Ia menjawab, ‘Aku tidak mencari pengajaran. Aku mengerjakan semuanya barangkali Allah dan Nabi berkenan, dan menyampaikan kabar kepada Nabi-nabi lainnya, ‘Lihat, ada seorang perempuan dari ummatku dan inilah karyanya’.”
Oleh karena itu, Rabi’ah ingin mencintai Nabi, damai bersamanya, ia berharap semua perempuan merasa dimuliakan dengan apa yang dilakukannya. Ia mencintai Nabi dan berharap berjumpa dengan beliau pada Hari Pembalasan
.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran pria-pria salih, dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milikNya. Aku hidup dalam naungan firmanNya. Akad nikah mesti diminta darinya, bukan dariku”
  1. C.     Ekspresi Beragama Dalam Kehidupan Sufi Rabi’ah al-Adawiyah
Ekspresi beragama ini dibagi menjadi 3:
  1. Ekspresi Verbal, yaitu pernyataan keadaan jiwa melalui kata-kata.
  2. Ekspresi Grafis, yaitu melalui tulisan, lukisan, maupun coretan.
  3. Ekspresi Motoris, yaitu pernyataan melalui tindakan, perbuatan, tingkah laku, gerakan, dan sebagainya.
Dari ketiga macam ekspresi yang disebutkan di atas, agaknya hanya ekspresi verbal dan motoris saja yang dilakukan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Mengingat tidak ditemukannya tulisan, lukisan, maupun coretan Rabi’ah yang dapat dianggap sebagai ekspresi keagamaan Rabi’ah. Bahkan ide tasawuf yang dikembangkannya, mahabbah, yang dikenal hingga sekarang baru ditulis beberapa muridnya beberapa saat setelah ia wafat.meski demikian, dua macam ekspresi tadi telah cukup melukiskan ekspresi keagamannya.


Ekspresi Verbal yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah

Sebagaimana disebut di atas, ekspresi verbal yang dilakukan Rabi’ah antara lain berupa perkataan yang berwujud doa-doa, syair-syair, nasehat, maupun jawaban dari pertanyaan.
Mengapa Rabi’ah menciptakan begitu banyak doa yang berupa syair-syair? Hal ini boleh jadi karena perasaan cinta dan rasa rindu pada “Kekasihnya”. Secara alamiah orang yang perasaannya dipenuhi oleh perasaan cinta dan rindu maka akan menciptakan puisi-puisi sebagai ungkapan perasaannya tersebut pada kekasihnya. Begitu juga yang terjadi pada Rabi’ah.


Ekspresi Motoris yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah

Ekspresi keberagamaan Rabi’ah dalam bentuk motoris teraktualisasi dalam bentuk-bentuk ibadah antara lain seperti shalat, puasa, haji, serta aktivitas-aktivitas lainnya.
Rabi’ah selalu melakukan shalat malam hingga fajar menjelang, dan ketika ia sakit, ia ridak bisa melakukan shalat malam dan akhirnya menggantinya dengan membaca Al-Quran di siang hari. Sementara tetesan air mata selalu mengiringi doa-doa yang dilantunkannya. Ia menangis bukan karena kemiskinannya atau karena ia tidak dihormati, melainkan ia menangis karena rindu akan “Kekasihnya” Allah SWT.
Ekspresi lain yang dilakukannya yaitu, menggali kuburnya sendiri di rumah. Dan diceritakan, ia biasa berdiri di samping lubang kubur tersebut, pagi dan sore hari sambil berkata “besok engkau pasti berada di sini” kemudian ia banyak melakukan ibadah. Selama 40 tahun ia memelihara kebiasannya ini hingga wafatnya.
Perilaku demikian menunjukkan bahwa Rabi’ah ingin segera bertemu dengan ‘kekasihnya’, dan itu akan dijumpainya pada saat rohnya terlepas dari jasadnya. Di samping itu, perilaku demikian juga menyadarkan dirinya bahwa kehidupan di dunia harus diisi dengan aktivitas sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.

BAB III

PENUTUP
  1. A.     Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah, pada abad ke II Hijrah telah merintis konsep zuhud dalam tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi ia tidak hanya berbicara tentang cinta Ilahi, namun juga menguraikan ajaran tasawuf yang lain, seperti konsep zuhud, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, dan sebagainya.


Dan kehidupannya adalah tafsir dari ayat Al-Quran yang jelas-jelas melukiskan hubungan cinta antara Tuhan dengan hambaNya:

“Wahai orang-orang yang percaya, barang siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, maka kelak akan didatangkan Tuhan Tuhan suatu kaum atas gantinya, yang Tuhan cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada Tuhan, yang merendahkan diri kepada sesama mu’min dan bersikap keras terhadap orang kafir, yang berjuang di jalan Allahdan tidak merasa takut atas cercanya orang-orang yang durjana. Itulah anugerah Allah yang dilimpahkan karuniaNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Mengetahui”  

Demikianlah, jejak langkah Rabi’ah yang barangkali perlu kita tapak tilasi. Terlebih lagi di era yang semakin mementingkan materi dan dipenuhi dengan kebohongan-kebohongan ini. Semoga saja kehidupan yang digelimangi cinta sebagaimana dicontohkan Rabi’ah itu bisa kita renungkan, teladani, dan jabarkan dalam kehidupan kita sehari-hari.


Sumber : http://dhenibaladewa.blogspot.com/