oleh: Romo William P. Saunders *
Setelah
memahami ajaran moral dasar mengenai transplantasi organ tubuh, kita
perlu membahas beberapa masalah yang mendatangkan dampak atas moralitas.
Kemajuan dalam ilmu pengetahuan medis telah memungkinkan dilakukannya
transplantasi organ dengan semakin gemilang, namun demikian beberapa
prosedur yang ditawarkan mungkin dapat dilakukan tetapi secara moral
tidak dapat diterima. Apa yang secara teknologis mungkin, tidak selalu
baik secara moral. Dalam menilai moralitas suatu prosedur, orang wajib
mempertahankan martabat pribadi manusia, yang sekaligus tubuh dan jiwa.
Seperti
diajarkan Paus Yohanes Paulus II, “Dalam bidang ilmu pengetahuan medis
ini pula prinsip dasarnya haruslah membela dan mengembangkan keutuhan
pribadi manusia, sesuai dengan martabat unik yang adalah milik kita oleh
nilai kemanusiaan kita. Sebagai konsekuensinya, jelas bahwa setiap
prosedur medis yang dilakukan atas pribadi manusia harus tunduk pada
batas-batas: tidak sekedar pada batas-batas dari apa yang secara teknis
mungkin, melainkan juga pada batas-batas yang ditetapkan demi hormat
terhadap kodrat manusia itu sendiri, yang dipahami dalam kepenuhannya
sebagai: `apa yang secara teknis mungkin, tidak dengan sendirinya secara
moral diperkenankan' (bdk. Kongregasi Ajaran Iman, Donum Vitae, #4)”
(Amanat kepada Kongres Internasional Ikatan Transplantasi, No. 2).
Masalah
pertama menyangkut penggunaan organ tubuh hewan untuk
ditransplantasikan ke manusia, seperti mempergunakan katup jantung babi
untuk menggantikan katup jantung manusia. Transplantasi macam ini
disebut xenotransplant. Pertama kali disampaikan oleh Paus Pius XII pada
tahun 1956, Gereja memaklumkan bahwa transplantasi yang demikian secara
moral dapat diterima dengan tiga prasyarat: (1) transplantasi organ
tubuh tidak merusakkan keutuhan genetik atau identitas psikologis
penerima; (2) transplantasi tersebut memiliki catatan biologis yang
teruji dalam kemungkinan berhasilnya, dan (3) transplantasi tidak
mendatangkan banyak resiko bagi si penerima. (bdk. Paus Pius XII, Amanat
kepada Asosiasi Donor Kornea Italia dan kepada Dokter Ahli Mata Klinik
dan Para Pelaksana Hukum Medis, 14 Mei 1956).
Masalah
kedua menyangkut penggunaan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh
dari kanak-kanak yang diaborsi (seperti bayi-bayi yang dibunuh dengan
prosedur aborsi kelahiran parsial). Sesungguhnya, sedang berkembang
suatu industri yang menguntungkan dalam “Mendapatkan” organ tubuh dengan
memanfaatkan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh dari janin yang
diaborsi. Point penting di sini adalah bahwa aborsi-aborsi ini dilakukan
dengan tujuan memanfaatkan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh si
bayi, dan dalam hubungan langsung dengan seorang penerima tertentu.
Aspek
lain dari masalah ini adalah ketika seorang anak dikandung secara alami
atau melalui fertilisasi in vitro (= pembuahan di luar tubuh) demi
mendapatkan genetik terbaik yang sesuai, dan kemudian anak dilahirkan
atau bahkan diaborsi sekedar demi mendapatkan organ-organ atau
jaringan-jaringan tubuhnya. Sebagai contoh, baru-baru ini suatu pasangan
mengandung seorang anak demi satu tujuan utama yaitu agar si bayi
menjadi donor sumsum tulang bagi saudari kandungnya yang menderita
leukemia; anak yang dikandung ini diperiksa untuk menjadi donor yang
sesuai sementara ia masih dalam rahim dan kemudian dilahirkan. Orang
patut bertanya apakah anak ini akan diaborsi andai ia tidak dapat
menjadi donor yang sesuai. Ikut ambil bagian dalam suatu aborsi demi
mendapatkan organ tubuh bayi, mengandung seorang anak demi organ
tubuhnya, atau secara sadar mempergunakan organ-organ tubuh dari janin
yang diaborsi adalah salah secara moral.
Masalah
ini menjadi semakin rumit dengan riset teknologi kloning. Sebagian
periset berharap menumbuhkan jaringan dan bahkan organ-organ tubuh dari
sel-sel induk yang didapatkan dari embrio manusia; tetapi, dengan
demikian harus membunuh embrio. Oleh sebab hidup manusia diawali dari
saat pembuahan dan sakral sejak dari saat itu, maka pembinasaan macam
itu adalah amoral. Menegaskan prinsip-prinsip Katolik yang konsisten,
Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “… teknik-teknik ini, sejauh meliputi
manipulasi dan penghancuran embrio manusia, dari sudut moral tak dapat
diterima, juga meskipun tujuannya baik” (Amanat kepada Kongres
Internasional Ikatan Transplantasi, No. 8). Pada intinya, tujuan akhir
tidak dapat membenarkan sarana yang dipergunakan. Tetapi, Bapa Suci
mendorong para ilmuwan untuk mengejar jalan riset ilmiah di mana
dipergunakan sel-sel induk dewasa, dan yang tidak mempergunakan kloning
dan sel-sel embrio manusia. Ringkasnya, riset macam apapun wajib
menghormati martabat pribadi manusia sejak dari saat pembuahan.
Pertanyaan
moral lainnya menyangkut pembagian dan pencangkokan organ tubuh kepada
para penerima yang menanti. Sesungguhnya, jumlah penerima melampaui
jumlah organ yang tersedia untuk transplantasi. Sementara tidak akan
pernah ada suatu sistem yang sempurna, rencana pencangkokan organ
hendaknya tidak diskriminatif (berdasarkan usia, jenis kelamin, ras,
status sosial, dan semacam itu) atau manfaatnya (berdasarkan kapasitas
kerja, manfaat sosial, dan semacam itu) melainkan hendaknya diupayakan
untuk mengenali nilai intrinsik tiap-tiap pribadi. Sebaliknyalah,
pencangkokan organ kepada penerima memenuhi faktor-faktor immunological
dan clinical.
Akhirnya,
apakah seorang dapat menjual salah satu organ tubuhnya sendiri untuk
transplantasi merupakan masalah lain lagi. Jawaban yang pasti adalah
“Tidak”. Penjualan organ tubuh melanggar martabat manusia, menghapuskan
kriteria belas kasih sejati dalam melakukan derma yang demikian, dan
mendorong munculnya suatu sistem pasar yang bermanfaat hanya bagi mereka
yang dapat membayar, lagi melanggar belas kasih yang otentik. Paus
Yohanes Paulus II telah berulangkali mengarisbawahi ajaran ini, “Suatu
transplantasi, bahkan sekedar transfusi darah, tidaklah seperti
operasi-operasi lainnya. Transplantasi sepatutnya tidak dipisahkan dari
tindakan memberi diri si pendonor, yang mengalir dari kasih yang memberi
hidup” (Amanat kepada Kongres Internasional Pertama Serikat
Transplantasi Organ, 24 Juni 1991) dan “Karenanya, segala prosedur yang
cenderung mengkomersialkan organ-organ tubuh manusia atau menganggapnya
sebagai barang untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan, harus
dianggap tidak dapat diterima secara moral, sebab penggunaan tubuh
sebagai suatu `obyek' adalah melanggar martabat pribadi manusia” (Amanat
kepada Kongres Internasional Ikatan Transplantasi, No. 3).
Oleh
karena itu, mendonorkan organ tubuh secara moral diperkenankan dengan
persyaratan-persyaratan tertentu. The Ethical and Religious Directives
for Catholic Health Care Services memberikan pedoman berikut:
“Transplantasi organ tubuh dari para donor hidup secara moral
diperkenankan apabila derma yang demikian tidak mengorbankan atau secara
serius merusakkan fungsi penting tubuh dan manfaat bagi si penerima
proporsional dengan resiko yang ditanggung donor. Di samping itu,
kebebasan donor wajib dihormati, dan donor hendaknya tidak mendapatkan
keuntungan finansial” (No. 30).
Pada
umumnya, dalam kasus mendonorkan organ tubuh sesudah kematian, anugerah
yang Tuhan berikan kepada kita untuk kita pergunakan dalam hidup ini -
mata, jantung, hati, dan sebagainya - dapat diwariskan kepada seorang
lain yang membutuhkan. Dalam kasus mendonorkan organ tubuh sementara
masih hidup, seperti memberikan sebuah ginjal yang sehat kepada seorang
kerabat yang membutuhkan, donor patut mempertimbangkan segala
implikasinya; dalam belas kasih, seorang calon donor dapat memutuskan
bahwa ia tidak dapat mendonorkan organ tubuhnya, misalnya sebab ia
adalah orangtua dan tak hendak menambah resiko tidak dapat memelihara
anak-anaknya sendiri yang masih tergantung padanya. Mendonorkan organ
tubuh bukanlah suatu keharusan, namun dianjurkan sebagai tindakan belas
kasih.
* Fr. Saunders is
dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in
Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
Sumber : http://www.indocell.net/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar