Dalam bukunya yang berjudul A Letter Concerning Toleration (Masalah yang berkaitan dengan toleransi) yang terbit tahun 1689, Locke menekankan bahwa negara tidak boleh ikut campur terlalu banyak dalam hal kebebasan menjalankan ibadah menurut kepercayaan agama masing-masing. Locke bukanlah orang Inggris pertama yang mengusulkan adanya toleransi agama dari semua sekte Protestan. Tetapi argumen kuat yang dilontarkannya tentang keberpihakkan pada perlunya ada toleransi merupakan faktor dukungan penduduk terhadap sikap pandangannya. Lebih dari itu, Locke mengembangkan prinsip toleransinya kepada golongan non-Kristen, baik penganut kepercayaan primitif, Islam, atau Yahudi. Dimana golongan-golongan tersebut tidak boleh dikurangi hak-hak sipilnya dalam negara semata-mata atas pertimbangan agama. Kini, berkat adanya tulisan-tulisan Locke, toleransi agama sudah meluas di dunia bahkan telah sampai di Indonesia. Pikiran Locke tersebut di Indonesia diaplikasikan dalam salah satu pasal pada UUD 1945 yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pikiran penting Locke lainnya adalah pada bukunya yang berjudul Two Treatises of Government (dua kesepakatan dengan pemerintah) yang terbit pada tahun 1689. Buku tersebut menyuguhkan ide dasar yang menekankan arti penting konstitusi demokrasi liberal. Buku itu juga mempunyai pengaruh terhadap pikiran politik seluruh dunia yang berbahasa Inggris. Locke sangat meyakini bahwa setiap manusia memiliki hak alamiah, dan ini bukan sekedar menyangkut hal hidup, tetapi juga kebebasan pribadi dan hak atas kepemilikan sesuatu. Tugas utama pemerintah adalah melindungi penduduk dan hak milik warga negara. Pikiran Locke dalam bukunya tersebut juga merasuk hingga ke Indonesia. Hal itu bisa dilihat pada Pasal 28 UUD 1945, dimana negara melindungi hak-hak azasi masyarakat Indonesia.
Locke menekankan bahwa pemerintah baru dapat menjalankan kekuasaannya atas persetujuan oleh yang diperintah. Argumen itu untuk menolak hak suci dari raja. Dia berpendapat bahwa kemerdekaan pribadi dalam masyarakat berada di bawah kekuasaan legislatif yang disepakati dalam suatu negara. Locke dengan tegas menekankan sesuatu yang disebutnya  dengan kontrak sosial. Pikiran ini sebenarnya sebagian berasal dari tulisan-tulisan filsuf Inggris terdahulu yaitu Thomas Hobbes. Tetapi, jika Hobbes menggunakan kontrak sosial ini untuk memperkokoh absolutisme, Locke mengartikan kontrak sosial itu sebagai berikut:
” … bilamana legislator mencoba merampas dan menghancurkan hak milik penduduk, atau menguranginya dan mengarah kepada perbudakan di bawah kekuasaan, mereka berada dalam keadaan perang dengan penduduk, dan karenanya penduduk terbebas dari kesalahan apabila membangkang dan biarlah mereka berlindung pada naungan Tuhan yang memang menyediakan penjagaan buat semua manusia dari kekerasan dan kemajuan.”
Jadi, rakyat masih memiliki kekuatan untuk menggulingkan dan mengganti badan perwakilannya apabila wakil-wakil mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaan yang diletakkan di pundak mereka. Sikap gigih Locke mempertahankan hak melakukan revolusi ternyata juga sangat kuat mempengaruhi Bung Karno dalam aksinya melakukan revolusi di Indonesia. Meskipun Indonesia telah beberapa kali melakukan pergantian pemerintahan, namun hanya sekali saja pemerintahan Indonesia tidak benar-benar mengaplikasikan ajaran Locke tersebut. Hal itu terjadi pada saat pemerintahan Orde Baru, dimana rakyat dirampas kemerdekaannya oleh pemerintah, karena legislatif bukan lagi lembaga yang disepakati oleh rakyat, tapi lebih merupakan alat legitimasi kekuasaan belaka oleh eksekutif yang pada saat itu mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Setelah Orde baru tumbang oleh reformasi, penyelenggaraan negara di Indonesia sudah mengarah pada gagasan Locke tersebut.

John Locke, bapak Trias Politika
Meski Locke berpegang teguh pada prinsip kekuasaan mayoritas, tetapi dia menjelaskan bahwa suatu pemerintahan tidaklah memiliki kekuasaan tanpa batas. Kekuasaan mayoritas bukan berarti merusak hakikat hak-hak manusia. Suatu pemerintahan hanya dapat dibenarkan merampas hak milik atas perkenan yang diperintah. Atas dasar pembatasan kekuasaan tersebut, Locke menciptakan ajaran tentang pembagian kekuasaan negara, yang nantinya akan disempurnakan oleh rekannya, yaitu Montesquieu, dan kemudian oleh Immanuel Kant yang selanjutnya dikenal dengan ajaran Trias Politika. Di Indonesia, pikiran Locke tersebut juga diaplikasikan dalam kegiatan penyelenggaraan negara. Namun perbedaannya, jika Locke membagi kekuasaan kekuasaan tersebut menjadi eksekutif, legislatif, dan federatif, maka di Indonesia lebih menggunakan ajaran Trias Politika yang telah disempurnakan oleh Montesquieu, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun pada prakteknya, tidak ada satu negara pun di dunia yang benar-benar menggunakan ajaran Trias Politika itu secara murni.



Sumber : http://rockeralimmenulis.wordpress.com/