Jumat, 27 April 2012

Donor Organ Tubuh menurut Kristen

oleh: Romo William P. Saunders *

Setelah memahami ajaran moral dasar mengenai transplantasi organ tubuh, kita perlu membahas beberapa masalah yang mendatangkan dampak atas moralitas. Kemajuan dalam ilmu pengetahuan medis telah memungkinkan dilakukannya transplantasi organ dengan semakin gemilang, namun demikian beberapa prosedur yang ditawarkan mungkin dapat dilakukan tetapi secara moral tidak dapat diterima. Apa yang secara teknologis mungkin, tidak selalu baik secara moral. Dalam menilai moralitas suatu prosedur, orang wajib mempertahankan martabat pribadi manusia, yang sekaligus tubuh dan jiwa.

Seperti diajarkan Paus Yohanes Paulus II, “Dalam bidang ilmu pengetahuan medis ini pula prinsip dasarnya haruslah membela dan mengembangkan keutuhan pribadi manusia, sesuai dengan martabat unik yang adalah milik kita oleh nilai kemanusiaan kita. Sebagai konsekuensinya, jelas bahwa setiap prosedur medis yang dilakukan atas pribadi manusia harus tunduk pada batas-batas: tidak sekedar pada batas-batas dari apa yang secara teknis mungkin, melainkan juga pada batas-batas yang ditetapkan demi hormat terhadap kodrat manusia itu sendiri, yang dipahami dalam kepenuhannya sebagai: `apa yang secara teknis mungkin, tidak dengan sendirinya secara moral diperkenankan' (bdk. Kongregasi Ajaran Iman, Donum Vitae, #4)” (Amanat kepada Kongres Internasional Ikatan Transplantasi, No. 2).

Masalah pertama menyangkut penggunaan organ tubuh hewan untuk ditransplantasikan ke manusia, seperti mempergunakan katup jantung babi untuk menggantikan katup jantung manusia. Transplantasi macam ini disebut xenotransplant. Pertama kali disampaikan oleh Paus Pius XII pada tahun 1956, Gereja memaklumkan bahwa transplantasi yang demikian secara moral dapat diterima dengan tiga prasyarat: (1) transplantasi organ tubuh tidak merusakkan keutuhan genetik atau identitas psikologis penerima; (2) transplantasi tersebut memiliki catatan biologis yang teruji dalam kemungkinan berhasilnya, dan (3) transplantasi tidak mendatangkan banyak resiko bagi si penerima. (bdk. Paus Pius XII, Amanat kepada Asosiasi Donor Kornea Italia dan kepada Dokter Ahli Mata Klinik dan Para Pelaksana Hukum Medis, 14 Mei 1956).

Masalah kedua menyangkut penggunaan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh dari kanak-kanak yang diaborsi (seperti bayi-bayi yang dibunuh dengan prosedur aborsi kelahiran parsial). Sesungguhnya, sedang berkembang suatu industri yang menguntungkan dalam “Mendapatkan” organ tubuh dengan memanfaatkan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh dari janin yang diaborsi. Point penting di sini adalah bahwa aborsi-aborsi ini dilakukan dengan tujuan memanfaatkan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh si bayi, dan dalam hubungan langsung dengan seorang penerima tertentu.

Aspek lain dari masalah ini adalah ketika seorang anak dikandung secara alami atau melalui fertilisasi in vitro (= pembuahan di luar tubuh) demi mendapatkan genetik terbaik yang sesuai, dan kemudian anak dilahirkan atau bahkan diaborsi sekedar demi mendapatkan organ-organ atau jaringan-jaringan tubuhnya. Sebagai contoh, baru-baru ini suatu pasangan mengandung seorang anak demi satu tujuan utama yaitu agar si bayi menjadi donor sumsum tulang bagi saudari kandungnya yang menderita leukemia; anak yang dikandung ini diperiksa untuk menjadi donor yang sesuai sementara ia masih dalam rahim dan kemudian dilahirkan. Orang patut bertanya apakah anak ini akan diaborsi andai ia tidak dapat menjadi donor yang sesuai. Ikut ambil bagian dalam suatu aborsi demi mendapatkan organ tubuh bayi, mengandung seorang anak demi organ tubuhnya, atau secara sadar mempergunakan organ-organ tubuh dari janin yang diaborsi adalah salah secara moral.

Masalah ini menjadi semakin rumit dengan riset teknologi kloning. Sebagian periset berharap menumbuhkan jaringan dan bahkan organ-organ tubuh dari sel-sel induk yang didapatkan dari embrio manusia; tetapi, dengan demikian harus membunuh embrio. Oleh sebab hidup manusia diawali dari saat pembuahan dan sakral sejak dari saat itu, maka pembinasaan macam itu adalah amoral. Menegaskan prinsip-prinsip Katolik yang konsisten, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “… teknik-teknik ini, sejauh meliputi manipulasi dan penghancuran embrio manusia, dari sudut moral tak dapat diterima, juga meskipun tujuannya baik” (Amanat kepada Kongres Internasional Ikatan Transplantasi, No. 8). Pada intinya, tujuan akhir tidak dapat membenarkan sarana yang dipergunakan. Tetapi, Bapa Suci mendorong para ilmuwan untuk mengejar jalan riset ilmiah di mana dipergunakan sel-sel induk dewasa, dan yang tidak mempergunakan kloning dan sel-sel embrio manusia. Ringkasnya, riset macam apapun wajib menghormati martabat pribadi manusia sejak dari saat pembuahan.

Pertanyaan moral lainnya menyangkut pembagian dan pencangkokan organ tubuh kepada para penerima yang menanti. Sesungguhnya, jumlah penerima melampaui jumlah organ yang tersedia untuk transplantasi. Sementara tidak akan pernah ada suatu sistem yang sempurna, rencana pencangkokan organ hendaknya tidak diskriminatif (berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, status sosial, dan semacam itu) atau manfaatnya (berdasarkan kapasitas kerja, manfaat sosial, dan semacam itu) melainkan hendaknya diupayakan untuk mengenali nilai intrinsik tiap-tiap pribadi. Sebaliknyalah, pencangkokan organ kepada penerima memenuhi faktor-faktor immunological dan clinical.

Akhirnya, apakah seorang dapat menjual salah satu organ tubuhnya sendiri untuk transplantasi merupakan masalah lain lagi. Jawaban yang pasti adalah “Tidak”. Penjualan organ tubuh melanggar martabat manusia, menghapuskan kriteria belas kasih sejati dalam melakukan derma yang demikian, dan mendorong munculnya suatu sistem pasar yang bermanfaat hanya bagi mereka yang dapat membayar, lagi melanggar belas kasih yang otentik. Paus Yohanes Paulus II telah berulangkali mengarisbawahi ajaran ini, “Suatu transplantasi, bahkan sekedar transfusi darah, tidaklah seperti operasi-operasi lainnya. Transplantasi sepatutnya tidak dipisahkan dari tindakan memberi diri si pendonor, yang mengalir dari kasih yang memberi hidup” (Amanat kepada Kongres Internasional Pertama Serikat Transplantasi Organ, 24 Juni 1991) dan “Karenanya, segala prosedur yang cenderung mengkomersialkan organ-organ tubuh manusia atau menganggapnya sebagai barang untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan, harus dianggap tidak dapat diterima secara moral, sebab penggunaan tubuh sebagai suatu `obyek' adalah melanggar martabat pribadi manusia” (Amanat kepada Kongres Internasional Ikatan Transplantasi, No. 3).

Oleh karena itu, mendonorkan organ tubuh secara moral diperkenankan dengan persyaratan-persyaratan tertentu. The Ethical and Religious Directives for Catholic Health Care Services memberikan pedoman berikut: “Transplantasi organ tubuh dari para donor hidup secara moral diperkenankan apabila derma yang demikian tidak mengorbankan atau secara serius merusakkan fungsi penting tubuh dan manfaat bagi si penerima proporsional dengan resiko yang ditanggung donor. Di samping itu, kebebasan donor wajib dihormati, dan donor hendaknya tidak mendapatkan keuntungan finansial” (No. 30).

Pada umumnya, dalam kasus mendonorkan organ tubuh sesudah kematian, anugerah yang Tuhan berikan kepada kita untuk kita pergunakan dalam hidup ini - mata, jantung, hati, dan sebagainya - dapat diwariskan kepada seorang lain yang membutuhkan. Dalam kasus mendonorkan organ tubuh sementara masih hidup, seperti memberikan sebuah ginjal yang sehat kepada seorang kerabat yang membutuhkan, donor patut mempertimbangkan segala implikasinya; dalam belas kasih, seorang calon donor dapat memutuskan bahwa ia tidak dapat mendonorkan organ tubuhnya, misalnya sebab ia adalah orangtua dan tak hendak menambah resiko tidak dapat memelihara anak-anaknya sendiri yang masih tergantung padanya. Mendonorkan organ tubuh bukanlah suatu keharusan, namun dianjurkan sebagai tindakan belas kasih.

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.




Sumber : http://www.indocell.net/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar