Berkunjung
ke rumah bangsawan --Tjong A Fie--, yang terkenal dengan kegigihan dan
kederwanannya sungguh mengasyikkan. Tak pernah terpikirkan sebelumnya,
rumah kono nan megah ini memiliki arti penting dalam proses asimilasi
etnis Tionghoa dengan masyarakat lokal di Medan. Sisa kemegahannya pun
masih terasa, seperti saat pertama kali didirikan, walau rayap telah
menggerogoti beberapa sisinya.
Siang
itu, tak terbayangkan, kami bisa di terima di rumah kuno yang berada di
Jl. Jenderal A. Yani No.105, Medan. Rumah ini sangat melegenda, karena
kekayaan arsitektur dan sejarahnya. Rumah yang di bangun di atas tanah
seluas 2200 m², menghabiskan 40.000 gulden (baca; mata uang pada jaman
itu) dengan waktu pengerjaan 5 tahun. Pembangunannya sendiri selesai
pada tahun 1900. Rumah itu menjadi terkenal karena dihuni oleh seorang
taipan asal China yang sangat melegenda --Tjong A Fie--, seorang
miliuner baru kala itu.
Kabarnya,
rumah ini di bangun untuk mengimbangi kemegahan Istana Maimun yang
dibangun oleh Sultan Deli, Tengku Ma’moen Al-Rasjid Perkasa Alamsjah.
Istana itu pun masih berdiri kokoh hingga sekarang.
Saat
berkunjung kesana, kami sempat tertahan di luar pagar selama lebih
kurang 10 menit, sebelum akhirnya dihampiri seorang wanita tua --masih
kerabat dari keluarga besar Tjong A Fie--, yang menanyakan maksud
kedatangan kami. Awalnya, kami pesimis diperbolehkan masuk untuk
melihat-lihat sisa kemegahan rumah seorang Luitenant etnis china
yang wibawanya begitu ke sohor. Karena tak sembarang orang boleh
berkunjung, selain tamu dan utusan lembaga tertentu. Belakangan asumsi
itu pupus, takkala kami disambut seorang pria paruh baya, yang mengaku
bernama ‘Fon Prawira’.
Dia
adalah cucu Tjong A Fie dari anak keempat pernikahannya dengan Liem
Koei Yap, yang bernama Tjong Kwet Liong alias “Munchong”. Saat ini Fon
dan keluarganya mendiami rumah besar ini bersama keluarga lain yang
masih terbilang famili. Saat ku tanya, ada berapa keluarga yang
menempati tempat ini? “...ada
beberapa keluarga yang masing-masing sibuk dengan urusan
sendiri-sendiri, sehingga kita jarang berkumpul”, jawab pria yang
sehari-harinya selalu ber-kaca mata hitam.
Dari
semua keturunan Tjong A Fie, ternyata tak banyak yang peduli dengan
warisan sejarah keluarga mereka. Buktinya, rumah tua yang dijuluki
termegah se-asia tenggara saat itu, tampak kurang terawat. Beberapa
lubang akibat sengatan rayap terlihat menggerogoti beberapa sisinya.
Mungkin karena kesibukan atau ketiadaan biaya, rumah besar itu sempat terlantar beberapa waktu. Bahkan, pintu pagar berupa gapura yang berhiaskan dua ekor singa lengkap ornamen etnis China tampak kusam, padahal bagian ini merupakan simbol penting pertanda kemegahan bagian depan rumah, kala itu.
Untungnya,
setelah melalui diskusi keluarga, Fon Prawira di daulat sebagai
penanggungjawab pengelolaan keseluruhan rumah yang akhirnya di tetapkan
pemerintah sebagai cagar budaya sejak tahun 1999. Campur tangan UNESCO disebut-sebut berpengaruh dalam penetapannya sebagai bagian dari sejarah yang harus dilestarikan.
Dengan
gaya bersahaja, pria yang sempat bersekolah di Jawa ini menyambut kami
sembari memperkenalkan bagian-bagian penting dari rumah yang memiliki
perpaduan unik antara arsitektur China dan barat. Melihat keindahan yang
terpancar dari dinding rumah lengkap dengan perabotan plus foto-foto
tuanya, aku hanya bisa berdecak kagum. Pasalnya, keindahan bagian dalam
rumah begitu terjaga, berbeda dengan bagian luar yang tampak lusuh.
Eksotisme Ruangan
Begitu
memasuki pekarangan yang bagian tengahnya ditumbuhi bunga berbentuk
melingkar, kita akan tiba di teras depan dengan langit-langit yang
sangat tinggi. Disini kita akan bertemu dengan pintu besar yang bagian
atasnya berbentuk bundar. Pintu ini berasal dari kayu jati yang di pesan
langsung dari daratan China, terdiri dari dua bagian yang sekelilingnya
diberi ukiran bertuliskan huruf China. Sesuai dengan Fengshui, pintu
ini berfungsi untuk menghimpun semua energi positif untuk masuk ke
dalamnya. Pintu ini juga dibuat lebar, untuk memudahkan pengangkutan
barang-barang berskala besar.
Begitu
masuk ke dalam ruangan, mata kita akan dimanjakan dengan ornamen dan
foto-foto tua. Serta tak ketinggalan aneka jenis perabotan tua yang
masih asli dan dipertahankan seperti sediakala. Semua perabotan tadi
merupakah barang lama yang sengaja dipertahankan untuk menjaga suasana
tempo doeloe tetap terasa. Perabotan-perabotan tersebut pun telah di
data sebagai cagar budaya yang harus di lestarikan.
Bagian
depan rumah ini terdiri dari 3 bagian, yakni bagian kiri, tengah dan
kanan ruangan. Di bagian kiri kita bisa menemukan seperangkat kursi
lengkap dengan meja kecil berbahan metal. Tak jauh dari situ, terdapat
sebuah lemari tua yang berisi aneka jenis foto tua. Kebanyakan foto itu
berisi aktivitas Tjong A Fie dengan keluarganya. Sedang di dindingnya
terdapat beberapa foto dalam ukuran besar berlapis kaca. Di salah satu
bagian, terpampang jelas foto Tjong A Fie yang terlihat gagah bersanding
dengan foto istri ketiganya Liem Koei Yap.
“baru
kali ini aku bisa melihat dengan jelas, seperti apa sosok seorang Tjong
A Fie. Pasalnya sejak kecil aku hanya mendengar kebesaran namanya saja.
Lagian, tak sembarang orang bisa berkunjung ke rumah ini” gumanku
lirih.
Sedangkan
di bagian kanan rumah, terdapat seperangkat perabotan tua dengan latar
belakang sebuah jendela besar yang jarang di buka. Berbeda dengan sisi
kiri, bagian kanan ini lebih terkesan gelap, karena jarang di tempati.
Dari
semua sisi ruangan, bagian tengah merupakan bagian yang paling mewah.
Sebuah sofa berwarna merah lengkap dengan pembatas ruangan ber-ornamen
etnis China yang juga berwarna merah tampak begitu mendominasi.
Biasanya, di tempat ini para tamu akan dijamu oleh tuan rumah.
Dan,
jika kita melangkah lebih jauh melewati pembatas ruangan bagian tengah
tadi, kita akan menemukan sepetak ruang kosong beratapkan langit, yang
di pinggirnya dipenuhi bunga aneka warna. Bangunan ini menjadi khas,
karena terdapat 4 buah kayu jati berdiameter 0,5 m, berfungsi sebagai
penopang bangunan yang bagian belakangnya terdiri dari 2 lantai.
Kemiripan 4 tiang penopang tersebut dibuatkan pada sebuah mesjid di
daerah kesawan, Medan, yang terkenal dengan sebutan “Mesjid Bengkok”.
Kabarnya, sebagian dana pembuatan masjid berasal dari sumbangan pribadi
seorang Tjong A Fie.
Pada
kesempatan itu, kami hanya berkeliling di beberapa bagian ruangan saja.
Untuk lantai satu, misalnya, kami hanya berkesempatan mengunjungi
ruangan yang peruntukannya sebagai penyimpanan benda seni ataupun
ruangan khusus yang boleh di lihat pengunjung. Pasalnya beberapa ruangan
di lantai satu digunakan sebagai tempat tinggal oleh keluarga besar.
Lewat
dari lantai dasar kita akan dituntun melewati tangga kayu
ber-arsitektur mewah yang masih terjaga keasliannya menuju lantai dua.
Di tempat ini, kebanyakan ruangan di dominasi warna hijau, yang bermakna
kesuburan. Di salah satu sisinya kita bisa menemukan sebuah ruang makan
besar. Ruangan ini dilengkapi meja panjang lengkap dengan perdupaan
yang sering digunakan untuk ritual.
Ruangan
di lantai dua ini ada beberapa buah, kebanyakan di biarkan kosong.
Alasannya sederhana, sebagian besar penghuni lebih memilih tinggal di
lantai dasar, karena lebih dekat dengan dapur dan sumber air. Selain
itu, aura mistik di lantai dua terasa kuat. Ini dibuktikan oleh anggota
keluarga yang sering melihat ‘penampakan’. “Maklumlah, ini kan, rumah
tua” ujar Rico, putra Fon Prawira yang kebetulan ikut menemani
berkeliling.
Ikhwal sang Jongos
Syahdan,
laki-laki berkulit saga itu mendarat di Labuhan, pelabuhan terbesar di
Sumatera kala itu. Di suatu pagi pada tahun 1880, ia datang menumpang
perahu jung, meninggalkan istri pertama dan toko kelontong ayahnya di Sungkow, propinsi Fukian, Tiongkok, menyeberangi Laut Cina selatan yang terkenal ganas. Ia masih berusia 18 tahun kala itu.
Tak
banyak bekal yang ia bawa. Konon, hanya sekerat pikulan, pakaian
seadanya dan 10 dolar uang Mancu yang dijahitkan ke ikat pinggang.
Selebihnya, sebungkah harapan di Bumi Soemantrah.
Saat itu, nama Soemantrah memang sedang harum. Negeri itu terkenal di dunia sebagai ‘negeri dollar’ sejak Jacobus Nieunhuys memelopori pembukaan perkebunan besar-besaran di sana, pada tahun 1863. Gema itu merambat ke Tiongkok, karena sebagian besar koeli perkebunan-perkebunan berasal dari sana. Gaung itulah yang membiluri dada si Tjong muda untuk bertualang.
Mula-mula,
Tjong A Fie alias Tjong Fung Nam, --nama pemuda itu--, menumpang di
rumah abangnya yang sudah lebih dahulu tiba di Labuhan. Tjong Yong Hian,
abangnya ini dipercaya Belanda dan diangkat sebagai pemuka masyarakat
Tionghoa. Baginya tak terlalu sulit untuk mencarikan pekerjaan buat si
adik. Lantas, sang adik pun dimasukkan kerja di toko kelontong Tjong
Sui-fo, sebagai leveransir bahan makanan untuk penjara setempat.
Di
situ, Tjong muda bekerja serabutan, ya.., melayani pembeli, memegang
pembukuan, mengantar barang ke penjara, menagih rekening dan sebagainya.
Pemilik toko pun mulai senang padanya, karena ia rajin dan terbilang
jujur serta pintar bergaul.
Kepandaian
bergaul inilah yang mengantarkan Tjong A Fie ke puncak kejayaan. Berkat
keuletan dan keluwesannya bergaul ia mulai di hormati oleh berbagai
lapisan masyarakat. Bukan hanya masyarakat Tionghoa, tetapi juga
masyarakat lain, seperti; Melayu, Belanda, Arab dan India di sana. Tak heran, kalau pemerintah Hindia Belanda mengabulkan permintaan etnis China di Labuhan untuk menganggatnya sebagai Wijkmeester (baca: kepala distrik)
Jalan
menuju kesuksesan mulai terbuka. Tjong A Fie akhirnya berhenti bekerja
dari Tjong Sui-fo dengan membuka usaha leveransir sendiri. Ia mulai
menunjukkan kehebatan bakat dagangnya. Ia pun mulai melirik perkebunan
yang ternyata cukup lebar di sekitar Medan, seperti Asahan, Langkat
hingga Simalungun. Disini ia pun memainkan kepiawaiannya bergaul untuk
menembus pasar. Hingga akhirnya, Ia pun berhasil.
Perkawinan dan Puncak Kejayaan
Setelah menikah dengan anak keluarga Chew, keturunan China terkemuka dari Penang, ia harus bersedih karena di tinggal mati sang istri, akibat sakit di usia 32. Dari istrinya ini ia mendapatkan tiga
orang anak. Sebelumnya, ia juga telah menikah dengan seorang wanita
bernama Lee di kampungnya, Sung-Kow, akibat permintaan orangtuanya
Kemudian
ia pun menikah lagi dengan Lim Koei-Yap, seorang gadis belia berusia 16
tahun, putri seorang jagoan silat yang bekerja sebagai tandil atau mandor besar di Perkebunan Deli Maatschappij di Sei Mencirim, Langkat.
Konon,
Tjong A Fie sangat mencintai istri ketiganya ini. Ia mengangapnya
sebagai hoki, pembawa keberuntungan. Sebab, tak lama setelah ia menikahi
wanita cantik itu, kekayaannya berlipat ganda. Pemerintah Belanda pun menaikkan pangkat Tjong A Fie menjadi Luitenant der Chinezen. Pemberian pangkat ini bertujuan untuk menyelesaikan setiap pertikaian yang timbul antara etnis Tionghoa dengan Belanda.
Tercatat, ia mengubah padang ilalang dan sawah di kawasan Kesawan, medan menjadi pusat bisnis baru. Di situ pula ia membangun mansion
(baca: istana)nya yang megah, seperti yang dilukiskan di atas.
Sementara bekas rumahnya di Pulo Brayan dijadikan tempat peristirahatan.
Rumah peristirahatan ini konon sangat luas dan indah, yang dilengkapi
dengan kebun binatang.
Singkat
kata, kota Medan kala itu menjadi seakan-akan milik Tjong A Fie. Hal
itu dimungkinkan karena ia dekat dengan setiap strata, mulai dari
bangsawan hingga rakyat jelata. Sultan yang saat itu sangat di hormati,
pun, akrab menjadi temannya. Ini terbukti dalam sebuah buku biografi berjudul “Memories of A Nonya”,
karya putri pertamanya, Tjong Fuk–Yin (Queeny Chang) dari Lim Koei-Yap,
yang berisi tentang hubungan kekerabatan Sultan dengan Tjong A Fie.
Demikianlah,
berkat kepiawaian Tjong A Fie, ia berhasil membeli sebuah perkebunan
karet, teh dan kelapa, setelah pemerintah Belanda memberi kesempatan
padanya sebagai satu-satunya pengimpor candu ke Sumatera. Khusus
mengenai perkebunan Tjong A Fie, seorang watawaan senior di Medan,
melukiskan “hampir imbang” dengan luas perkebunan milik Belanda terbesar
di Sumatera Timur, Deli Maatschappij. Sebagai gambaran,
perusahaan Belanda yang dibuka pada tahun 1867 mengusahakan 7.000 Ha dan
pada tahun 1941 memiliki luas tak kurang dari 180.000 Ha. Perkebunan
Tjong A Fie kala itu luasnya hampir sebanding dengan luas Deli Maatschappij.
Selain
itu, Tjong A Fie juga terjun ke bidang perbankan. Deli Bank, namanya.
Konon, banknya itu tak kalah bonafid dengan bank milik Belanda. Ia juga
bersama kolega-koleganya dari Batavia mendirikan sebuah bank yang
terkenal dengan sebutan “Batavia Bank”. Ia memegang 200 saham dari total
saham keseluruhan (baca; berjumlah 600).
Akan
tetapi yang paling mencengangkan adalah usahanya di negara leluhur,
Tiongkok. Bersama sang kakak, ia mendirikan perusahaan kereta api yang
menghubungkan kota Chow-Chow dan Swatow. Hal, yang kemudian membuat Yong
Hian (si kakak) mendapat gelar kehormatan Menteri Perkeretaapian dari
pemerintahan Mancu dan diterima beraudiensi oleh kaisar Tse Hsi. Kalau sang kakak naik joli ke desa mereka, konon di depan joli ada penabuh gong yang memberitahu kedatangannya. Dan, penduduk pun akan berlutut di sepanjang jalan yang dilaluinya.
Selain
itu, kederwanannya pun di catat banyak orang. Tanpa membedakan suku,
ras dan agama ia sempat mengumpulkan masyarakat sekitar ketika hari
ulang tahunnya tiba. Ia juga banyak membangun kuil-kuil Budha dan
kuburan untuk masyarakat Tionghoa di Pulo Brayan. Ia juga memberi
sumbangan untuk pembangunan Gereja Katholik di Jl. Pemuda. Kemudian, di
tanah wakaf milik Datuk Haji M. Ali, ia membangun mesjid pertama di
Medan yang dikenal dengan sebutan “Mesjid Lama atau Mesjid Bengkok” di
daerah Kesawan, Medan. Sebagai penghormatan kepada Sultan Deli dan
penduduk asli ia ikut menyumbang pembangunan Mesjid Raya pada tahun
1906. Pada tahun 1913, ia juga ikut mendirikan Mesjid di Sipirok – Tap.
Selatan. Selanjutnya, pada tahun 1913 ia menyumbang jam menara
berdendang untuk Balai Kota Medan, yang berasal dari Belanda
Akhir Perjalanan
Suatu
sore di awal 1921, dalam pertemuan keluarga, di rumah megahnya, Tjong A
Fie bercerita kepada istri dan anak-anaknya, bahwa ia sedang memesan
kapal baru berbobot mati 6.000 ton dari Jepang. Kapal itu merupakan kapal terbesar yang dibuat pada awal abad XX, memuat barang maupun penumpang.
Tour
ke Eropa dengan kapal pribadi tersebut, merupakan impian perihal
kemegahan harta Tjong A Fie. Namun, apa hendak di kata, sehari setelah
membeli kapal tersebut, tepatnya pada tanggal 8 Februari 1921, ia
terserang gangguan pembuluh otak, dan akhirnya meninggal dunia.
Saat
itu, berakhirlah sudah perjalanan anak rantau asal Kanton, Tiongkok,
yang terkenal dengan keberanian dan kedermawanannya. Kini, tinggallah
semua harta dan rumah megah yang ditempatinya selama 21 tahun. Warga
Medan pun ikut berkabung atas kepergiannya.
Tjong
A Fie kemudian dikuburkan di pemakaman khusus dekat rumah
peristirahatannya di Pulo Brayan, Medan. Kabarnya, peti matinya diberi
lapisan minyak tung dari China sebanyak tujuh lapis dengan liang
kuburnya yang dilapisi timah hitam, sehingga akan tahan terhadap
kelembaban dan rayap selama 100 tahun.
Ada
secuil teka-teki mengenai pemakaman ini. Menurut keluarga Sultan Deli,
Tjong A Fie dikubur di pekuburan kerabat sultan di halaman Masjid
Al-Mansoon (kini Mesjid Raya), karena secara diam-diam ia telah memeluk
Islam. Akan tetapi, Queeny Chang (putri pertama dari Liem Koei-Yap)
dalam buku biografinya menulis, bahwa sampai meninggal, ayahnya masih
menganut Budha. Ia sendiri sempat memasangkan kaos kaki ke jenazah
ayahnya. Menurutnya, yang benar, masyarakat Islam sempat meminta jenazah
Tjong A Fie untuk di sembhayangkan di masjid, tetapi kemudian hal itu
bisa diselesaikan dengan damai. Dan, katanya, orang-orang dari jauh pun
banyak yang datang, seperti dari Jawa, Penang bahkan China untuk
menunjukkan rasa hormat pada seorang Tjong A FIe. Hingga akhir hayatnya,
ia memegang falsafat kuno yang berbunyi; dimana bumi ku pijak, di situ
langit ku junjung.
Sumber : http://jackoagun.multiply.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar