Mawlana Jalaludin Rumi
Jalaluddin
dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia
Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari
kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut perbedaan
pendapat antara Sultan dan Walad. Keluarga ini kemudian tinggal di
Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru
bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke
Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin
Kaykobad. Jalaludin Rumi adalah seorang teolog yang kemudian karena
suatu peristiwa spiritual yang kemudian mengubahnya menjadi seorang
penyair mistis.
Dikisahkan di suatu pagi, seorang pandai
besi yang juga darwis bernama Shalahuddin Faridun Zarkub menempa
besinya. Pukulan itu kontan membuat Rumi menari hingga mencapai keadaan
ekstase. Lalu secara spontan dari mulut Rumi mengalir ujaran-ujaran
mistis dalam bentuk puisi.
Selanjutnya,
Shalahuddin dijadikan Rumi sebagai khalifah (wakil) untuk menggantikan
posisi Syams, tempat ia mencurahkan gagasan dan perasaannya. Setelah
melembaga, tarian ini sering dilakukan Rumi selepas shalat Isya di
jalanan kota Konya, diikuti para darwis lainnya. Acara terakhir biasanya
ditutup dengan pembacaan ayat suci Al-Quran. Bagi Rumi menari adalah
Cinta. Dan Rumi tak berhenti menari karena ia tak pernah berhenti
mencintai Tuhan. Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah
berhenti menari, karena dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian
itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang
mencintai jadi yang dicintai
Setelah wafatnya Rumi, tarekat Maulawiyah
(beserta ritual samâ’-nya) berlanjut terus di bawah pimpinan Syaikh
Husamuddin Hasan bin Muhammad, salah seorang sahabat karibnya, yang juga
dijadikan Rumi sebagai khalifah setelah kepergian Shalahuddin.
Husamuddin adalah orang yang memberinya dorongan dan inspirasi sehingga
lahirlah sebuah karya yang menjadi magnum opus Rumi, yakni Matsnâwî.
Kitab ini terdiri dari enam jilid dan berisi 25.000 untaian bait
bersajak.
Rumi
menyebut samâ’ (Tarian Whirling Dervishes) sebagai simbolisme kosmos,
sebuah misteri yang sedang menari. Putaran tubuh adalah tiruan alam
raya, seperti planet-planet yang berputar. Posisi tangan yang membentang
secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah diterima oleh telapak
tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan ke seluruh makhluk
oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan dan penyatuan
dengan Tuhan.
Pemikiran Rumi dalam sufisme dilihat dari sudut pandang epistemologi
Pemikiran Jalaludin Rumi banyak
dituangkan dalam lukisan beberapa kejadian yang bersumber dari
antusiasme mistis serta inspirasi puitisnya. Filsafat Rumi diilhami oleh
gagasan monistik. Dia mengatakan, “Masnawi adalah kedai kesatuan
(wahdah); setiap sesuatu yang engkau lihat di sana selain yang maha esa
adalah berhala.
Panteisme atau Monisme Sufi meliputi hal-hal sebagai berikut:
- Hanya satu wujud yang nyata, yang merupakan sumber seluruh keberadaan. Realitas ini dapat dipandang sebagai Tuhan (esensi Tuhan).
- Tiada penciptaan dalam waktu. Manifestasi diri Tuhan adalah suatu proses abadi. Meskipun bentuk-bentuk dari alam semesta selalu berubah dan hilang serta secara serempak diperbaharui tanpa istirahat sedetikpun, pada esensinya ia adalah abadi bernama Tuhan. Tidak pernah ada suatu waktu ketika ia belum ada. Karena seluruhnya berada dalam pengetahuan-Nya.
- Tuhan adalah imanen, dalam pengertian bahwa dia tampak sebagai aspek yang terbatas dari bentuk-bentuk fenomenal, dan transenden, dalam pengertian bahwa dia adalah realitas absolute yang melampaui dan mengatasi setiap penampakan.
- Esensi Tuhan itu tidak diketahui. Tuhan membuat Natur-Nya dapat diketahui oleh kita melalui nama-nama dan atribut-atributnya.
Puisi Jalaludin Rumi
Jiwamu diciptakan di dunia
Hanya untuk menemani jiwaku
Menjelajahi Samudera Kehidupan Sampai akhir
Hanya untuk menemani jiwaku
Menjelajahi Samudera Kehidupan Sampai akhir
Yang aku butuhkan bukan jasadmu yang fana
Tapi jiwamu untuk kubawa kembali
Dalam keabadian tanpa batas ruang dan waktu
Tapi jiwamu untuk kubawa kembali
Dalam keabadian tanpa batas ruang dan waktu
Kamu juga tahu, karena rasa yang sejati
Tak akan pernah bisa diingkari dari hati yang paling dalam
Tak akan pernah bisa diingkari dari hati yang paling dalam
Karena itu berasal dari Samudera Illahi
dan terbebas dari nafsu hewani dan ego . . .
Itu yang disebut Cinta Sejati
dan terbebas dari nafsu hewani dan ego . . .
Itu yang disebut Cinta Sejati
Akan kubangunkan jiwamu yang sudah lama tertidur
Supaya tersadar dalam kesadaran Surgawi
Karena aku adalah engkau dan engkau adalah aku
Supaya tersadar dalam kesadaran Surgawi
Karena aku adalah engkau dan engkau adalah aku
Aku melihat Tuhanku dengan mata dari mata hatiku
Aku berkata, “ Tidak ada keraguan, hanya Engkau yang ada, hanya Engkau, hanya Engkau “
Engkaulah satu-satunya yang memasuki
setiap rasa dimanapun di dalam diri ini, karena dimanapun rasa yang
kucari di dalamnya ada Diri Mu.
Tidak ada cara untuk mengetahui Diri Mu, dimanapun kami mencarinya, sebab di setiap tempat yang kami temui hanya Diri Mu
Tak akan sanggup aku berkhayal tentang Diri Mu, karena kami tidak mengetahui tentang Mu
Tak ada satu pengetahuanpun yang dapat
mengetahui tentang Diri Mu kecuali pengetahuan yang datang dari Diri Mu
untuk mengetahuinya
Dalam kehilangan diriku aku melihat Diri
Mu dan hanya menemukan Mu, dan semakin ku mencari diriku dalam Diri Mu
yang kutemukan hanya Diri Mu.
Kesimpulan
Pemikiran Jalaludin Rumi bersifat
Iluminasionisme, yaitu sebagai suatu isme yang memandang bahwa hanya
hati dan kalbu serta pensucian jiwa adalah satu-satunya sumber dan media
bagi manusia untuk menggapai pengetahuan, makrifat, dan ilmu hakiki
terhadap objek-objek dan realitas-realitas eksternal.
Jalaluddin Rumi meletakkan akal dan
pengetahuan lahiriah tersebut sebagai pendahuluan dan “jembatan” bagi
pengetahuan yang lebih tinggi dan sempurna, akan tetapi bukan sebagai
puncak dan kesempurnaan pengetahuan. Rumi tidak mengecam akal dan
ilmu-ilmu lahiriah, bahkan memandang wajib untuk dituntut oleh semua
orang. Namun, menurutnya, menuntut ilmu-ilmu tersebut dan penguasaan
argumen-argumen rasional akan menjadi sangat urgen, penting, dan
bermanfaat apabila mendukung pencapaian-pencapaian kesempurnaan manusia,
pensucian jiwa, dan pencerahan hati, bukan untuk kebanggaan,
kesombongan, kekuasaan, dan kekayaan duniawi, serta pemuasan
kebutuhan-kebutuhan jasmani dan syahwat. Penderitaan dan upaya keras
dalam mencari ilmu dan pengetahuan hanyalah diarahkan untuk tujuan yang
suci dan transenden yakni menggapai kebahagiaan insani dan kesempurnaan
Ilahi. Dengan demikian, pengetahuan lahiriah dan akal menempati
posisinya tersendiri dan merupakan nikmat-nikmat Tuhan yang mesti
dimanfaatkan untuk membantu manusia mencapai kebutuhan-kebutuhan
spiritual dan tujuan hakiki penciptaannya, minimalnya sebagai tahapan
awal bagi perjalanan kesempurnaan manusia dan pengenalan konsepsional
terhadap Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan manifestasi-manifestasi-Nya.
CATATAN KRITIS
Pemikiran Mawlana Jalaludin Rumi bila
kita lihat secara mendalam ternyata memang tidak memiliki konsep metode
pemikiran. Malahan sebagian orang menganggap bahwa pemikiran Jalaludin
Rumi tidak lain sebagai salah satu pemikiran “kegelapan“ dalam arti
masih terpengaruhi oleh doktirn-doktrin agama dan agak bersifat mistis.
Namun demikian kita dapat mengambil suatu pelajaran dari pemikiran
Jalaludin Rumi bahwa Ia menekankan untuk mendapatkan sebuah pengetahuan
kita tidak boleh mendewakan rasionalisme dan empirisme sebagai jalan
dalam mendapatkan pengetahuan. Dalam hal ini kami melihat bahwa Jalaludi
Rumi berusaha menawarkan sebuah alternatif didalam jalan mendapatkan
pengetahuan yaitu dengan iluminasi. Dengan jalan iluminasi, menurutnya
manusia dapat mendapatkan pengetahuan yang abadi karena datangnya
pengetahuan tersebut berasal dari Tuhan dan pengetahuan manusia hanya
berfungsi sebagai jembatan dalam upaya memperoleh pengetahuan yang
berasal dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar