Bagi
kaum sufi, mensucikan hati dan pikiran adalah sebuah jalan yang tak
boleh dilanggar agar mata bathinnya senantiasa ada dalam pencerahan.
Setiap saat ada dalam keadaan Tuhan mencintainya dan ia pun mencintai
Tuhan dengan sepenuh jiwanya, sepenuh hatinya. Tak ada yang lebih
dicintai kecuali Tuhan itu sendiri. Tuhan sebagai tujuan dan Tuhan
adalah sesuatu yang final dalam kehidupannya. Cinta dan kasih sayang
Illahi itu kemudian ia refleksikan dalam mencintai dan mengasihi
makhluk-makhluk Tuhan lainnya, berdzikir dan beribadat siang dan malam.
Warna
aliran sufi cinta Illahi ini dibawa oleh Rabi’ah al Adawiyah. Ia
dianggap sebagai pendiri sufi yang mengembangkan totalitas kecintaan
pada Allah. Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya memiliki keunikan tersendiri.
Ia memiliki komunikasi transendental yang sangat halus dan peka. Bahasa
cintanya bukan hanya menghujam dan menggetarkan siapa pun yang
membacanya, namun juga membawa pada pengembaraan spriritual yang jauh
melebihi batas langit.
Rabi’ah
al Adawiyah lahir di Basrah pada tahun 95 H (714 M) dan meninggal di
Jerussalem pada tahun 185 H (796 M). Ia terlahir dari keluarga yang
saleh dan zuhud. Kematian ayahnya dan bencana kemarau panjang membuatnya
hidup terlunta-lunta dan terpisah dari saudara-saudaranya. Inilah yang
menyebabkan Rabi’ah kemudian Rabi’ah dijual oleh perampok dan dijadikan
budak.
Kesengsaraan,
kepedihan dan buruknya kehidupan yang dialaminya tidak membuat ia
menjadi kufur. Ia menjadikan semuanya sebagai jalan mendekatkan diri
kepada Yang Maha Suci. Ia membersihkan seluruh jiwanya dan ridha
terhadap apa yang ia alami dengan segala suka dukanya akhirnya membuat
antara kepedihan dan kebahagiaan dimata Rabi’ah tak ada beda. Yang
terpenting baginya adalah cinta dan ridha dari Tuhan itu sendiri.
Yaa.. Tuhan, lenganku telah patah
Aku merasa penderitaan yang hebat atas segala yang menimpaku
Aku akan menghadapi segala penderitaan itu dengan sabar
Namun aku masih bertanya-tanya
Dan mencari-cari jawabannya
Apakah Engkau ridha akan aku
Ya Allah….Ya Allah…
O’ Tuhan..inilah yang selalu mengganggu langit pikiranku.
Rabi’ah
al Adawiyah senantiasa menetralisir seluruh luka-luka dunia dan
kepedihan dirinya dengan berdzikir. Dengan lembut ia berkata pada
Tuhannya :
Tuhanku,
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukanku
Selain berdzikir kepada-Mu
Di
malam hari, ketika hampir semua manusia terlelap tidur, maka Rabi’ah al
Adawiyah terjaga. Bagi Rabi’ah inilah saat-saat yang terindah berasyik
masyuk dengan sang Maha Raya.
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun telah berlalu
Dan siang datang menjelang
Aku menjadi resah dan gelisah
Apakah persembahan malamku Engkau terima ?
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu kau tolak, hingga aku dihimpit duka
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu
Inilah yang selalu kulakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi Kemanusiaan-Mu
Andai Kau usir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
Sesungguhnya,
banyak sekali lantunan-lantunan syahdu dari Rabi’ah Al Adawiyah kepada
Tuhannya yang mungkin melampaui batas perasaan, sensitivitas ruhani
kebanyakan orang yang hatinya terikat pada gravitasi bumi, sangat
duniawi. Sedangkan bagi Rabi’ah, lapar dan dahaga itu adalah kepada
Tuhan itu sendiri. Jalaluddin Rumi berkata, “..sungguh sangat kasihan seseorang yang ingin mencapai laut hanya terpuaskan oleh secangkir air..”
Bagi Rabi’ah maupun Rumi, cinta hakiki adalah Allah itu sendiri.
Sedangkan cinta sesama, diantara manusia dianggap sebagai sesuatu yang
dipinjamkan Tuhan itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Rumi, “Seseorang
harus mencari kepuasan Tuhan, bukan kepuasan manusia. Karena kepuasan,
cinta, simpati, dipinjamkan kepada manusia dan ditempatkan disana oleh
Tuhan.”
Mungkin
inilah syair yang paling popular dan syair puncak perasaan Rabi’ah al
Adawiyah yang sangat menghujam kerasnya seluruh dinding-dinding hati dan
mengguncangkan seluruh perasaan :
Yaa..Allah..
Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka,
bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu karena berharap surga,
campakkan aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata
Janganlah Engkau tutup keindahan wajah-Mu
yang abadi untukku
Entahlah, setiap membaca
syair-syair Rabi’ah al Adawiyah maupun Jalaluddin Rumi, jiwa saya
seakan menjadi kerdil. Saya selalu merasa terlempar kesebuah lembah yang
asing, dimana saya tak pernah mengerti lagi tentang peta diri ada
dimana. Begitu jauh untuk berjalan berpeluk dan bergandeng dengan
mereka. Antara saya dan Rabi’ah serta Rumi, seperti dalam posisi : Saya
ada di dasar jurang yang maha dalam dan mereka ada di atas langit tak
berbatas. Alangkah bedanya. Alangkah jauhnya. Tetapi saya melihat
seberkas cahaya dari keduanya.
Sumber : http://filsafat.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar