Pada
suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah
dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya
bertimbun meleblhl gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah
akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar.
Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu
berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas
gurunlah tebaran dosa saya.
Maksiat
apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi
sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?”
“Pasti,” jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan
tldak berkenan menerlma tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu
tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti darl dosa, jangan simpan kata
“akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Memang
ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan
telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan
pernah mengatakan, “Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak
sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?” Barangkali lantaran
ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia ini.
Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu
dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu
kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang
pun yang berada disamping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya,
Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.
Namun,
karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pundari mereka yang
terjaga. Dengan lunglai Ismaill pulang tanpa hasil, padahal ia hanya
ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang
akan melahirkan . Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam
biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang
terjadi di bilik itu.
Seberkas
cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan.
siapa-siapa . “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang
membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail
menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu
tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap
tldak punya apa-apa Kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih
lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang,
menyerahkan nasib dlrinya dan seluruh keluarganya kepada Yang
Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong
ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih
benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan
masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih,
orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang
mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya
bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah
seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia
harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.
Ketika
Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam
mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang
biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban
malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada
Ismall diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat
yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari
tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota
Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu
agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak
punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka
cita selain dengan Allah.
Tiap
malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Di
langit bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah
terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu ger- bang istananya. Begitu
pula para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapl, aku kini
bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan
cintaku hanya untuk-Mu.”
Fariduddin
al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah
pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang
hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan
kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam
upayanya untuk menekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi
masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa
dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya
semua itu.
Ia
tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid.
Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai
salat isa, ia terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata
kepada Tuhan, “Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap,
tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon
dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap
berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”
Jika
fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah
pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang
menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir,
alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra
dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk
pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku
telah terikat dengan-Mu.”
Lantas,
jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di
depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar
margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada
hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin
dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar,
semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.
Tentang
masa depannya ia pemah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: “Apakah engkau
akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan keharusan
bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan
kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau
mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar
Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan
tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian
antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”
Sumber : http://sufimuda.net/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar